Islam, Peran Pemuka Agama dan Kerusakan Lingkungan, dibahas oleh Ma’REFAT INSTITUTE

Kemudian lanjutnya, pergulatan soal lingkungan ini tidak bisa dipisahkan dari problem ideologis. Misalnya dalam menjawab berbagai problem lingkungan ini, di dunia Barat, ketika lingkungan dikelola melalui pandangan/paradigma Antroposentrisme Ekstrim, yang cenderung mengeksploitasi alam. Inilah yang dianggap sebagai akar masalah kerusakan lingkungan. Kemudian muncullah pemahaman Ekosentrisme lewat Deep Ecology (Ekologi Dalam) yang menggeser pemahaman Antroposentris ini (Ekologi Dangkal). Kemudian ada pandangan Social Ecology (Ekologi Sosial), yang menyebutkan bahwa permasalahan lingkungan disebabkan oleh faktor-faktor sosial seperti ketidakadilan, kapitalisme, penindasan manusia oleh manusia. Berikutnya muncul pula Ekofeminisme, yang menyebutkan akar masalah lingkungan yang terjadi hari ini karena budaya patriarkal Barat yang mengeksploitasi wanita dan alam. Ini kan menunjukkan bahwa ada pertarungan paradigma/ideologi dalam masalah lingkungan di Barat. Lantas, mengapa Islam tidak tampil merespons apa yang sedang terjadi?

Di kalangan pemikir dan cendekiawan Islam, Seyyed Hossein Nasr adalah salah satu tokoh Islam yang sudah cukup lama – sejak tahun 60-an – melontarkan respons atas krisis yang terjadi ini. Bagi Nasr, krisis ekologi lingkungan dan pelbagai jenis merusakan Bumi yang telah berlangsung sejak lama, berakar pada krisis spiritual dan eksistensial manusia modern pada umumnya. Dan pandangan Seyyed Hossein Nasr ini, sudah jauh mendahului Arne Naess yang menggagas pandangan Deep Ecology ataupun Murray Bookchin, pencetus Ekologi Sosial.
Dalam konteks itu, maka mestinya pemuka agama mengambil peran yang lebih progresif. Tokoh-tokoh agama harus mendakwahkan kepada masyarakat mengenai urusan lingkungan. Hal ini mesti diulang-ulang, agar bisa dipahami bahwa ketika kerusakan ekologi lingkungan terjadi, dampakya akan begitu luas. Tidak hanya terhadap alam tetapi juga kepada manusia sendiri. Oleh sebab itu, Gagasan dan pemikiran yang pernah dilahirkan para ulama dan tokoh Islam, seperti KH. Ali Yafie lewat bukunya Merintis Fiqih Lingkungan Hidup (2006), Syeikh Abdullah Jawadi Amuli dengan Islam dan Lingkungan Hidup: Tinjauan Qurani Holistik (2007), dan Prof. Quraish Shihab melalui Islam & Lingkungan: Perspektif Al-Quran Menyangkut Pemeliharaan Lingkungan (2023), mesti dipercakapkan dan dipublikasi secara lebih luas, agar pemahaman umat terhadap masalah lingkungan bisa lebih meningkat serta lebih baik. Ungkap Muttaqin menutup presentasinya.

BACA JUGA:  Green Tea & Bunga Reportase Kehidupan “Tiga Rasa”

Hossein Nasr pernah menulis, “Krisis lingkungan bisa dikatakan bahwa penyebabnya karena penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai “Lingkungan” nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara kehidupannya. Kerusakan lingkungan merupakan akibat dari upaya manusia modern dalam memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan Ilahiah yang tanpa berkah pembebasan-Nya lingkungan menjadi sekarat dan mati.” Sejalan dengan itu, Karen Amstrong pun mengingatkan dalam buku Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam, “Al-Quran senantiasa menyeru umat Islam agar mereka selalu menyadari kasih sayang Tuhan di alam. Dunia alami adalah epifani (tajalli) Ilahi yang tidak selalu dapat dipahami oleh cara berpikir biasa. Jadi, umat Islam harus melatih diri untuk melihat hal-hal di balik penampakan alam dan menyadari kekuatan Ilahi di dalamnya.” Mengakhiri percakapan akhir pekan tersebut, Prof. Firdaus diminta perkenannya menutupnya dengan doa untuk menambah keberkahan diskusi yang telah dilakukan.

br
br