Opini internasional terhadap insiden semacam ini cenderung terbagi dua. Di satu sisi, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia memiliki kepentingan strategis dalam menjaga stabilitas Indonesia sebagai mitra regional, sehingga mereka relatif berhati-hati dalam memberikan tekanan langsung. Namun di sisi lain, aktor-aktor non-negara seperti lembaga swadaya masyarakat internasional, organisasi HAM, dan media global, terus menyoroti pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Papua dan mendesak komunitas internasional untuk lebih aktif menekan Indonesia agar mengakhiri kekerasan dan membuka ruang dialog. Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi dilema diplomatik: mempertahankan kedaulatan nasional dengan pendekatan keras bisa membungkam pemberontakan dalam jangka pendek, tetapi akan memperbesar tekanan dan isolasi internasional dalam jangka panjang.
Tragedi ini juga memberikan cermin bagi kegagalan kebijakan otonomi khusus (otsus) yang telah diberlakukan di Papua sejak 2001. Meskipun secara formal otsus memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dan menjanjikan anggaran yang lebih besar, dalam praktiknya kebijakan ini gagal menyelesaikan akar persoalan di Papua. Korupsi, tidak meratanya pembangunan, dan minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam perumusan kebijakan membuat otsus kehilangan legitimasi di mata rakyat Papua. Dalam konteks ini, kematian penambang dan pembakaran sekolah menjadi simbol nyata dari kegagalan kebijakan negara dalam menciptakan keamanan, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi Papua.
Ke depan, komunitas internasional memiliki peran penting untuk mendorong transformasi pendekatan terhadap Papua. Bukan melalui intervensi bersenjata atau sanksi politik, tetapi melalui diplomasi HAM, kerja sama pembangunan yang berkeadilan, serta tekanan terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintahan Indonesia. Negara-negara donor dan mitra pembangunan bisa memainkan peran dalam memperkuat kapasitas masyarakat sipil Papua, mendukung pendidikan multikultural, serta mendorong pendekatan non-militer dalam penyelesaian konflik. Di sisi lain, pemerintah Indonesia harus berani membuka ruang dialog sejati dengan semua elemen masyarakat Papua, termasuk mereka yang selama ini dianggap separatis. Hanya dengan pengakuan terhadap sejarah, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pembangunan yang berpihak pada masyarakat lokal, Papua bisa keluar dari lingkaran kekerasan yang telah berlangsung puluhan tahun.
Sebagai penutup, tragedi kematian 11 penambang dan pembakaran sekolah di Papua harus menjadi titik balik bagi pemerintah Indonesia dan komunitas internasional untuk mengevaluasi ulang paradigma yang selama ini digunakan dalam menangani konflik Papua. Pendekatan keamanan yang represif terbukti gagal, sementara pendekatan pembangunan yang eksklusif hanya memperdalam luka sosial dan ketimpangan ekonomi. Dunia internasional memiliki tanggung jawab moral untuk mendesak perubahan, bukan demi memecah belah Indonesia, tetapi demi menjamin bahwa prinsip keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan berlaku untuk semua, termasuk rakyat Papua.