Oleh: Syafruddin Muhtamar, dosen Universitas Muslim Indonesia.
NusantaraInsight, Makassar — Tidak ada suara gaduh ketika suara penuh wibawa penyair Syahrir Rani Dg Nassa, membacakan puisi pembuka acara peluncuran buku “Jika saya menjadi walikota Makassar”.
Susana begitu tenang, sang kandidat calon walikota makassar Muhammad Amri Asyid, Sp., yang menjadi “tamu utama”, turut taksim dalam simaknya. Nampak sesekali ia mengaguk perlahan, menandai pahamnya akan lirik yang di baca sang penyair.
Banyak yang mengapsresiasi positif, kehadiran kandidat walikota no urut 4 itu, dalam acara yang diberi tajuk: mengutui isi kepala calon walikota Makassar. Sebuah acara yang di prakarsai K-Apel dan Kampus Lorong.
Agenda utama adalah paparan sang calon walikota mengenai visi dan misinya dalam relasinya dengan isi buku yang launching. Kemudian diskusi, ungkapan pandangan-pandangan penulis yang termuat dalam buku.
Banyak dari gagasan sang calon walikota yang menarik, demikian pula masukkan-masukan dari beberapa penulis yang berkesempatan mengukap kembali gagasan mereka di forum tersebut, untuk mengutui sang kandidat. Membuat susana diskusi menjadi dialektik dan produktiv, karena saling silang gagasan senantiasa bertemu dalam susana hati yang “berseni”. Suatu hal, yang di “rindu” sang kandidat walikota, dalam pengakuannya. Bahkan memberi ruang lebih lanjut, bagi penulis-penulis yang memiliki gagasan inovatif untuk turut rembuk dalam “pembicaraan” yang lebih aplikatif.
Seluruh gagasan yang ditampakkan berakar pada problem masyarakat, sebagai manusia kota. Problem manusia modern. Dalam realitas, tengah abad 21, dua dekade belakangan, dimana kehidupan manusia, kata banyak ahli memang “sedang tidak baik-baik saja”.
Ada multi krisis pada hampir semua bidang kehidupan manusia secara masif, secara global-nasional-lokal. Krisis yang berakar pada krisis, kata Fritjof Capra . Paradigma sains adalah akar krisisnya.
Ada problem keamanan karena perang yang tak terkendali, krisis ekonomi yang membuat negara-negara menjelang bangkrut, bencana ekologi di laut, darat dan udara, bencana kesehatan dalam pandemi, dan bencana sosial berupa kriminalitas dan hilangnya moral dan susila yang mencengangkan.
Dan nampaknya, ada keletihan ilmu pengetahuan menghadapi problem “yang dibuatnya sendiri”. Bagaimana mengatasi problem-problem sifatnya fundamental itu?
Banyak yang berkata, “beyond the rasion”. Di Jakarta misalnya, dua tokoh ‘menawarkan’ satu kata sebagai jawaban. Anis Baswedan dan Ridwan Kamil: “Imajinasi”, kata mereka. Mereka berkata kita butuh “imajinasi” membangun kota Jakarta. Mungkin juga kata itu, untuk membangun negara kepulauan ini.