Lembaga nirlaba eLSIM (Lembaga Studi Informasi dan Media Massa), didirikan tahun 1998, bertujuan untuk melakukan pemantauan dan pengkajian media massa (media watch), aktif menyelenggarakan pendidikan jurnalistik, serta menerbitkan jurnal ilmiah. Pendiri lembaga ini merupakan jurnalis dan intelektual. Mereka adalah Prof Dr A Muis, SH, Dr Hamid Awaluddin, SH, LLM, Aidir Amin Daud, SH, Sukriansyah S Latief, dan Tomi Lebang.
Meski Workshop Jurnalisme Radio ini lebih pada produksi siaran berita, tapi pengayaan tentang hukum pers juga diberikan. Materinya disampaikan oleh Prof A Muis, yang terkenal sebagai pakar hukum media. Prof Muis, yang punya nama lengkap Abdul Muis Andi Makkasau, malah membagikan bukunya “Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers”, terbitan tahun 1996. Buku ini merupakan bunga rampai pemikirannya terkait komunikasi, jurnalistik, dan hukum pers.
Acara workshop ini dihadiri oleh Santoso, Direktur Utama KBR 68H, dan seorang trainer yang melatih produksi siaran dengan perangkat teknologi mutakhir di masa itu. Radio 68H kelahirannya dibidani oleh ISAI dan Komunitas Utan Kayu, beralamat di Jalan Utan Kayu No 68H Jakarta Timur.
Saya ingat, suatu malam di sela-sela pelatihan, trainer tersebut diajak ke Radio Bharata FM untuk mengasistensi pemasangan jaringan untuk produksi siaran dengan memanfaatkan teknologi baru. Darul Aqsa, yang memahami aspek teknis, menemaninya bersama Pak Bambang Yuliarto, bos Bharata FM. Saya juga berada di sana.
Oh iya, pada tulisan lain, saya sudah ceritakan, bahwa saya menjadi peserta pelatihan jurnalisme radio yang diadakan ISAI. Ada serangkaian pelatihan lain yang diadakan, setelah itu. Salah satunya yang diikuti Yanti Tomu, penyiar Bharata FM, sekarang Direktur Utama Perumda Parkir Makassar Raya. Pulang dari pelatihan itu, sebagai peserta, Yanti diberi perangkat rekaman merk Sony.
Sebagai reporter, saya lebih sering menggunakan alat perekam baru tersebut, menggantikan tape recorder manual sebelumnya. Alat perekam baru ini, terbukti sangat membantu mempermudah pekerjaan. Perangkatnya dilengkapi headset yang bisa digunakan untuk mengontrol suara saat wawancara. Juga ada fasilitas pemutar track, untuk menyimpan dan mencari pada track berapa wawancara dilakukan. Baterainya pun tinggal dicas dan punya kapasitas daya listrik yang besar.
Dengan tape recoder manual, saya akui punya beberapa kelemahan. Baterainya mirip yang dipakai untuk jam dinding, jadi mudah swak. Posisi miknya, termasuk jarak, harus diperhatikan saat wawancara. Belum lagi, tape ini butuh kaset untuk menyimpan hasil wawancara. Sayangnya, tidak selalu menggunakan kaset baru. Terkadang kaset bekas, yang jika sebelum digunakan harus dihapus terkebih dahulu, atau langsung ditimpa. Sialnya, jika sudah selesai wawancara, ternyata tombol recordnya lupa ditekan hehehe. Jadi sebagai antisipasi, harus selalu di-back up dengan catatan.