Kota Bima selama beberapa hari berubah bagaikan tempat pembuangan akhir sampah kiriman dari hutan di sebelah timur dan utara Kota Bima yang dihanyutkan banjir. Muallim I KM Tilongkabila milik PT Pelni, Subair, yang kapalnya sedang berlabuh di Pelabuhan Bima pada saat banjir bandang menjelaskan kepada saya pada tahun 2018 menyebutkan, permukaan air di Pelabuhan hanya menyisakan tiang Listrik yang tampak.
Data yang ada mengungkapkan, di Kabupaten Bima dan Dompu terdapat 202.000 ha kawasan hutan, 58.000 ha di antaranya sudah disunglap menjadi lahan pertanaman jagung. Di Kecamatan Parado saja, dari 18.000 ha hutan, 13.000 ha di antaranya sudah dibabat untuk areal pertanaman jagung. BPS Kabupaten Bima mengungkapkan, pada tahun 2015-2017 luas panen jagung mencapai 28.841,80 hektare. Pada tahun 2023 jumlahnya meningkat menjadi 179.030,00 hektare, meskipun ada penurunan menjadi 196.060,00 hektare dibandingkan tahun 2022.
Masalah pengelolaan hutan ini memang sangat dilematis. Yang memiliki hutan adalah daerah kabupaten/kota, namun yang mengurusnya dari segi kewenangan adalah pihak provinsi. Ini yang menjadi problem kronis selama ini dan terjadinya tarik ulur, sehingga penggundulan hutan berlangsung secara masif dan berkesinambungan. Bupati Bima dan Dompu misalnya, yang melayangkan ‘tagline’ berbunyi “ngaha aina ngoho” (makan/bertani jangan membabat hutan) menjadi moto kontraproduktif dan mubasir. Moto itu hanya menjadi frasa yang dibaca sepintas lalu dan sebatas wacana bagi para kepala daerah jika menyoal masalah pelestarian lingkungan dan hutan. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa, sebab kewenangannya ada di Tingkat provinsi.
Kini, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB, tampaknya baru ‘bangun’ dari tidur panjangnya selama lima tahun dengan merencanakan kegiatan demonstrasi plot (demplot) yang akan dilaksanakan di Kabupaten Sumbawa. Namun langkah yang terkesan terlambat ini jauh lebih baik, alih-alih tidak melakukan sama sekali. Prinsip “kalau bukan sekarang, kapan lagi”, agaknya berlaku.
Pihak Provinsi NTB sesuai berita tersebut akan melaksanakan percontohan di Kabupaten Sumbawa akhir bulan Januari 2025, sementara di Kecamatan Parado Kabupaten Bima, warga yang menanam kembali hutan gundul di bawah koordinasi tim Penanggulangan Kerusakan Hutan dan Lingkungan Hidup Kecamatan Parado, sudah mulai memetik hasilnya. Saya beruntung menyambangi lokasi penghijauan dan penanaman kembali itu akhir Oktober 2024 bersama Danramil Monta Kapten Inf. Ibrahim, Pegiatan Penghijauan Abdillah M.Saleh, S.Pd. dan sataf Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) setempat.
Apa yang dilakukan oleh warga yang mencakup ratusan hektare itu hingga saat ini hanya ditandangi oleh staf Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) setempat. Dari pihak provinsi saja belum pernah. Kalau sempat datang menyambangi penghijauan masyarakat itu, kan bisa menjadi cerita sukses (success story) yang dapat diinformasikan kepada masyarakat lain. Saya mendengar dari Pak Abdillah M.Saleh, belum ada penghijauan di Kabupaten Bima seperti yang dilaksanakan secara sadar oleh masyarakat Kecamatan Parado itu. Lahan seluas 300 hektare dikelola 188 orang di Desa Paradorato Kecamatan Parado. Tiga kelompok tani hutan (KTH), yakni Mada Singgi dengan anggota 34 orang dipimpin Sukardin M.Saleh, KTH Mada Nangga dengan 54 anggota dipimpin Junaidin Ibrahim dan KTH So Rade Inanane yang dipimpin Bambang dengan anggota 100 orang.
Di Desa Kanca Kecamatan Parado terdapat dua KTH, yakni Rade Keu-1 dan Rade Keu-2. Abdillah mengakui, areal penanaman kembali pada dua KTH tersebut belum seberhasil yang dilakukan warga Desa Paradorato itu.
Junaidin Ibrahim (59) mengatakan kepada saya, penghijauan yang mereka lakukan sudah memperlihatkan hasil. Hutan menghijau Kembali dan memberikan hasil.
“Oksigen yang dihasilkan hutan ini sudah normal kembali. Tanaman pohon durian, kemiri, dan pinang sudah memberikan hasil,” kata Junaidin Ibrahim.
Hutan Memprihatinkan, Provinsi NTB Baru “Bangun Tidur”
