HM Daeng Patompo dan Angka-Angka Tahun yang Tidak Selaras

Demi membiayai pembangunan kotanya, Patompo melegalisasi judi lotto (lotre totalisator). Kebijakan mengisi pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini terang saja menuai kontoversi. Namun, bukan itu yang membuatnya diingat dan dikenang.

Hasil dari lotto antara lain dipakai untuk membangun sarana pendidikan, berupa SD Tauladan Bawakaraeng, SD Tauladan Pongtiku, dan SD Tauladan Sudirman.

Lewat Gerakan Masuk Kampung (GMK), Patompo membuka isolasi kampung-kampung pinggiran dan pelosok, supaya terhubung dengan pusat kota. Gerakan ini mendapat pengakuan dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), yang segera memberinya dukungan finansial. Program ini lantas ditiru Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977).

Guna menanggulangi banjir, ia membangun tanggul di tepi sungai Jeneberang, yang kita kenal sebagai tanggul Patompo. Ia menata rumah-rumah di perkotaan dengan membangun Kompleks Patompo di selatan kota. Ia juga membangun semacam kota satelit yang dinamakan Ujung Pandang Plan.

Patompo mengubah wajah Makassar menjadi gemerlap, penuh nyala lampu neon di malam hari, hingga ke permukiman warga. Penataan yang signifikan menjadikan Ujung Pandang meraih penghargaan sebagai Kota Terbersih, pada tahun 1967.

BACA JUGA:  Prof Aswanto, Pemilukada Sulawesi Selatan, dan “Komit Damai”

Program “6 Cukup” benar-benar diwujudkannya. Sebagai pemimpin, Patompo berupaya memenuhi kebutuhan hidup warganya. Ia ingin mereka memiliki kecukupan: cukup lapangan kerja, cukup perumahan, cukup air minum dan listrik, cukup pendidikan dan kesehatan, cukup perhubungan, juga cukup hiburan dan olahraga.

Torehan prestasi pembangunan membuat Patompo memiliki reputasi sebagai wali kota legendaris. Tak ayal Patompo dijuluki Ali Sadikin-nya Ujung Pandang, kala itu. Namun secara berkelakar, ia justru mengatakan bahwa Ali Sadikin adalah Patompo-nya Jakarta. (*)

br