HM Daeng Patompo dan Angka-Angka Tahun yang Tidak Selaras

Pada ruangan berbeda, yang memajang lukisan potret Wali Kota Makassar–sejak masa pendudukan tentara Jepang (Mr Gunta Yamasaki, 1942-1945) hingga Mohammad Ramdhan Pomanto (2014-2019 dan 2021-2025)–terdapat pula penulisan angka tahun masa jabatan Patompo.

Sayangnya, angka tahun sebagai keterangan lukisan potretnya tidak selaras dengan yang ada di ruangan sebelah. Bahkan saya menemukan di ruangan ini terdapat dua penulisan yang tidak konsisten.

Pada lukisan potret HM Daeng Patompo, yang diberi barcode, tertulis ia menjabat sebagai wali kota pada tahun 1965-1976. Namun, pada papan informasi yang berada di dekat pintu, tercantum bahwa wali kota yang berasal dari militer itu menjabat pada tahun 1968-1978.

Keanehan soal angka-angka ini masih saya jumpai ketika hendak memverifikasi masa jabatan HM Daeng Patompo di portal resmi milik Pemkot Makassar, makassar.go.id.

Hasilnya, ketidak-telitian malah dengan mudah dijumpai pada laman yang sama. Pada informasi yang satu tertulis: Kol. H.M. Dg. Patompo (1962-1976), sementara yang satunya lagi menyebut HM Patompo, masa jabatan: 1965 s.d. 1978.

BACA JUGA:  Di Balik Peluncuran Buku “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur” (4): Jika Datang Tegasnya, Tak Menyisakan Reserve

Bagaimana bisa data dan informasi dari wali kota setenar ini tidak cocok satu sama lain? Bagaimana koordinasi antara Humas, Dinas Kominfo, Dinas Kearsipan, dan UPT Museum Kota Makassar, yang berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan?

Apakah tidak ada sejarawan atau peneliti sejarah yang dilibatkan untuk memastikan informasi sepenting itu? Apakah Pemkot Makassar tidak menggunakan sumber-sumber resmi, seperti Surat Keputusan, foto arsip, dan dokumen valid lainnya ketika menyuguhkan data-data itu?

Tentu saja angka-angka yang membagongkan itu–meminjam istilah anak gaul zaman now–harus segera dibereskan. Sebab angka-angka tahun dalam peristiwa sejarah punya arti yang sangat penting.

Angka-angka tahun itu berfungsi sebagai penanda waktu (kronologi), sebagai alat untuk menghindari kerancuan waktu (anakronisme), dan sebagai bukti faktual yang memungkinkan para sejarawan merekonstruksi peristiwa masa silam secara akurat dan sistematis.

Jadi angka-angka tahun itu, tidak boleh sama sekali dianggap remeh. Ada legalitas kewenangan dalam rentang waktunya.

Angka-angka itu bukan sekadar periodesasi masa jabatan, tetapi juga periodesasi sejarah. Dari sana kita bisa meraba denyut pembangunan: sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.

BACA JUGA:  Di Balik Peluncuran Edisi Revisi Buku “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur” (10): Idrus A.Paturusi: Menangis Berpelukan di Masjid Aqsa

Angka-angka itu memberikan kerangka waktu yang esensial supaya kita dapat memahami transformasi masyarakat dalam suatu periode kepemimpinan tertentu. Angka-angka itu merupakan sumber pembelajaran dan literasi.

br