Dia rupanya menjawab dengan cukup tenang pertanyaan tersebut. Pertama, kata dia, saya adalah adiknya. Sebagai kakak saya sudah seharusnya bila dia bertanggung jawab atas semua kebutuhan saya selama menjalani studi S1.
Terus pertanyaan saya mengenai luka masa lalu. Katanya, dia sudah sepenuhnya berdamai dengan semua itu. Apa yang terjadi atas kehidupan keluarga kita itulah takdir. Bahkan sebelum kita siap tuk menghadapi kerasnya dunia ayah telah pergi tuk selamanya. Sekali lagi ditekankan, itulah takdir!
“Satu hal perlu kamu tau dek, Ayah itu sangat menyayangi kita, lebih dari apapun. Semua peristiwa yang kamu lihat di masa lalu tidak sekejam yang ada di ingatanmu,” terang kakak.
Dia lantas membeberkan bahwa ada fakta yang perlu saya ketahui bahwa waktu itu ayah sangat terbebani dengan semua tanggung jawab yang diembannya.
Ayah mesti membiayai hidup sehari-hari, membiaya sekolah saya dan biaya kuliah kakak yang lain. Juga biaya kuliah kakak sepupu kami. Itu, katanya, bukan tanggung jawab yang sepele.
“Kalau dibilang kecewa, sama juga dek. Saya cukup kecewa atas kakakmu yang lain dan kakak sepupumu. Lihat mereka cukup abai terhadap tanggung jawab mereka tuk bantu membiayai pendidikan kalian, tapi itulah takdir dek,” jelasnya memberi pemahaman.
Dia berharap saya cukup menjadikan semua peristiwa itu sebagai motivasi, pembuktian diri. Tekadkan bahwa tanpa merekapun saya bisa mencapai impian-impian saya. Dan kalau bukan karena ayah, dia tidak akan ada di sini dan bisa membiayai saya.
Ya, demikian percakapan singkat itu. Meski semua jawabannya terang tapi membuat saya belum puas. Pasalnya, masih banyak pertanyaan yang butuh jawaban.
Sedikit fakta yang saya dapati dari kakak membuat saya menjalani perenungan yang cukup panjang, hingga saya sampai pada satu hipotesa, “bahwa semua pengorbanan yang dilakukan ayah selama ini untuk kakaku dan kakak sepupuku, semata agar kelak mereka bisa membantu saya dan adek-adek saya dalam segala biaya pendidikan kelak.”
Kalau dalam bahasa ekonomi, ini merupakan bentuk investasi jangka panjang yang dilakukan ayah saya. Walau pada kenyataannya gagal total.
Ah sial saya sungguh kecewa dengan fakta ini. Namun inilah pelajaran penting yang diajarkan ayah saya, kerja keras dan ikhlas. Hidup selalu punya cara sendiri tuk membuat kita lebih kuat.
Satu nasihat yang selalu saya ingat dari kakak saya Abdullah Rumaday, “apapun yang terjadi padamu saat ini teruslah hadapi. Nikmati setiap luka, sampai pada suatu saat kamu akan bangga atas semua yang kamu lalui.” Semangat. (*)