Pada saat pecah demonstrasi, saya masih merupakan mahasiswa baru Fakultas Hukum Unhas. Kami, mahasiswa angkatan ’87, saat itu, tengah menuju Gedung Pemuda Sudiang untuk mengadakan Bina Akrab, yakni prosesi acara untuk saling akrab sesama angkatan, setelah mengikuti OPSPEK (Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus). Rombongan iring-iringan kami, dengan kendaraan mobil dan sepeda motor, yang tengah menuju Sudiang di Kecamatan Biringkanaya, dikira tengah melakukan aksi demonstrasi anti-helem. Apalagi, beberapa teman yang mengendarai sepeda motor, memang berteriak-teriak meminta pengendara sepeda motor yang dijumpai untuk membuka helemnya.
Saya ingat, pengumuman akan ada aksi demonstrasi, biasanya disampaikan setelah jumatan di pelataran FIS. FIS merupakan kepanjangan Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, di mana area ini terdapat Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sastra, dan Fakultas Hukum. Momen berkumpulnya orang dimanfaatkan untuk menggalang dukungan bagi aksi demonstrasi. Bukan cuma Unhas yang bergerak, tapi juga UMI, UVRI, dan IKIP Ujungpandang (sekarang UNM), serta kampus lainnya.
Aksi demonstrasi anti-helem membesar pada Sabtu, 31 Oktober 1987. Mahasiswa lintas kampus bergerak. Mereka berpawai melewati jalan-jalan kota, minta supaya pengendara yang mengenakan helem, segera melepas helemnya. Bahkan ada yang helemnya dirampas, dibuka paksa, lalu dibanting hingga hancur di aspal jalan sebagai sikap protes. Mereka tak segan-segan membakar helem-helem yang dirampas itu. Para demonstran berkeliling di jalan-jalan kota dan seputar depan kampus. Penolakan terhadap kewajiban menggunakan helem, yang melibatkan mahasiswa dan kelompok masyarakat, khususnya pemuda, mengakibatkan tiga orang tewas (Tempo.co).
Demo anti-helem yang berlangsung berhari-hari hingga menelan korban jiwa, sempat menimbulkan kekacauan hebat di Makassar. Walikota Ujungpandang, saat itu, adalah Kolonel Jancy Raib (1983-1988), sedangkan Gubernur Sulawesi Selatan adalah Prof. Ahmad Amiruddin (1983-1988 & 1988-1993). Sementara Pangdam VII/Wirabuana, dijabat oleh Mayjen TNI Nana Narundana (1985-1988).
Karena pemblokiran jalan telah menimbulkan kemacetan di banyak titik, para pengendara kemudian mencari jalan-jalan alternatif. Bila biasanya, mereka melewati jalan utama di Jl Jend Urip Sumoharjo, kini ada jalur-jalur alternatif, bisa keluar dari kemacetan sekaligus aksi demontrasi. Salah satu jalur itu, yakni Jl Abdullah Dg Sirua, yang semula hanya dilewati sebagai jalan alternatif menuju kampus Unhas di Tamalanrea oleh mahasiswa dan sopir pete-pete kampus Unhas.