Green Tea & Bunga Reportase Kehidupan “Tiga Rasa”

Oleh sebab itu, pada kesempatan memberi komentar terhadap buku ini saya menjelaskan tiga keprihatinan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, yakni: rendahnya minat baca kita, sulit menuangkan ide dan gagasan ke dalam tulisan, dan sulit mengomunikasikan ide dan gagasannya secara lisan. Sangat anehlah jika ada mahasiswa kita tidak bisa menulis (karya ilmiah, dan sebagainya) karena aktivitas akademiknya sangat signifikan menuntut adanya keterampilan menulis.
Direktur PT Indikstat Konsultan Indonesia , Arty Santoso menjelaskan, nilai Tingkat Gemar Membaca mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, 66,70 menjadi 72,44. Seperti dimuat liputan6.com 31 Desember 2024, tingkat kegemaran itu sama sekali tidak mengklasifikasi jenis bacaan apa dengan kenaikan indeks seperti itu. Jika secara kasat mata, terdapat peningkatan aktivitas membaca yang luar biasa dalam masyarakat kita. Tetapi jangan tertipu. Bukan buku, melainkan pesan atau informasi melalui gawai.

Risma Asriani Azis Genisa yang tampil sebagai narasumber pertama dalam diskusi buku itu juga mengakui bahwa dari 5000 orang, hanya ada satu orang yang diketahui memiliki minat membaca. Jadi, 5.000:1. Bandingkan saja secara kasar jumlah penduduk Indonesia saat ini.

BACA JUGA:  170 Penyair Dunia akan Baca Nyanyian Cinta Dunia Untuk Gaza

Monolog & Dialog

“Green Tea dan Bunga”, adalah reportase kehidupan dengan ‘tiga rasa’ (baca tema) sebagaimana saya ungkapkan sebelumnya. Menurut Rusdin Tompo yang mengeditori buku ini, “Green Tea dan Bunga” berisi semacam bunga rampai tulisan yang dimuat di akun facebook penulis. Soal judul, itu sengaja dipilih biar ada suasana kafe, tempat sang penulis senang nongkrong dan menghasilkan tulisan-tulisannya.

Walaupun catatan-catatan ini perihal dirinya sendiri, tetapi penulis juga bertutur tentang orang lain atau teman, juga dengan Tuhan. Tulisan ini merupakan hasil monolog penulis dan ketika sampai pada titik tertentu menyerah pada kekuatan di luar dirinya. Firman-firman Allah kemudian menjadi pondasi penguat narasi-narasinya, terutama antarsesama dalam kaitannya dengan “hablum minannas”.

Dari gaya metaforis sejumlah tulisan tampak model karya sastra prosa liris. Ada sedikit nuansa cerita pendek, tetapi tidak tuntas dalam sebuah cerita yang memiliki plot dan runtut. Tulisan-tulisan yang berjudul “Si Abang Ojol”, dan “Jiwa Sosial yang Tak Terduga” (hlm 153) sebenarnya bisa menjadi sebuah karya yang dikemas menggunakan racikan penulisan ‘feature’, sehingga memiliki rasa. Pembaca tidak saja memperoleh informasi mengenai suatu peristiwa, tetapi juga ada ‘rasa’ dalam menikmatinya.