Gen Z di Persimpangan Jalan.

Oleh: Haekal Rumaday (Mahasiswa UIN Alauddin)

NusantaraInsight, Makassar — Bagi Generasi Z, buku Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki bukanlah sekadar bacaan usang, melainkan sebuah cerminan realitas yang sedang kami jalani.

Di satu sisi, kami merasa terhubung dengan setiap kritik Kiyosaki terhadap sistem pendidikan dan pola pikir lama.

Di sisi lain, kami menyadari bahwa dunia yang kami hadapi sekarang jauh lebih kompleks, di mana tantangan dan peluang datang dalam bentuk yang sama sekali baru.

Buku ini seperti sebuah peta lama di era digital: prinsipnya masih relevan, tetapi jalan-jalan yang ada di sana kini sudah berubah.

Antara Ruang Kelas dan Algoritma:
Generasi kami adalah saksi bisu kegagalan pendidikan formal dalam menyiapkan kami menghadapi dunia nyata.

Di sekolah, kami diajarkan Matematika maupun Ilmu Ekonomi, tetapi tidak diajarkan cara mengelola uang. Kami didorong untuk mendapatkan nilai bagus agar bisa bekerja di perusahaan bergengsi—sebuah mentalitas “Poor Dad” yang mengutamakan keamanan di atas segalanya.

BACA JUGA:  In Memoriam Harry Wibowo: JEJAK LANGKAH AKTIVIS-PEMIKIR YANG TAK PERNAH MUNDUR

Namun, kami juga merupakan generasi yang melek teknologi. Saat sistem formal gagal, kami beralih ke YouTube, TikTok, dan berbagai platform digital untuk belajar.

Di sana, kami menemukan mentor-mentor digital yang mengajarkan tentang investasi saham, kripto, dropshipping, dan bisnis kuliner. Kami secara otodidak merangkul pola pikir “Rich Dad”: kami belajar bahwa yang terpenting bukanlah seberapa besar gaji, tetapi seberapa cerdas kami dalam membangun aset.

Beban dan Kekuatan:
Kiyosaki membedakan utang menjadi dua jenis: baik dan buruk. Generasi Z sangat akrab dengan utang “buruk” dalam wujud pinjaman pendidikan. Utang ini seringkali menjadi beban yang menghambat kami untuk memulai hidup dan membangun kekayaan. Ditambah lagi, godaan dari fitur cicilan dan paylater semakin memperparah kebiasaan konsumtif, menjerumuskan kami pada utang yang hanya membeli liabilitas.

Namun, tidak semua dari kami terjebak di sana. Berkat akses informasi yang luas, kami mulai memahami konsep utang “baik”. Kami melihat utang bukan hanya sebagai beban, melainkan sebagai alat leverage. Beberapa dari kami berani mengambil pinjaman modal untuk memulai bisnis, membeli aset, atau bahkan melakukan investasi kecil. Kami melihat utang dari perspektif seorang investor, bukan hanya sebagai beban yang harus dibayar.

BACA JUGA:  Dalam kenangan Wina Armada Sukardi : "TERUSLAH BERKARYA JANGAN LUPA BERTAQWA, PAK ANDI .."

Ponsel Baru atau Investasi?
Konsep inti dari Rich Dad Poor Dad perbedaan antara “Aset dan Liabilitas” sangat relevan bagi Gen Z.
“Aset: Poin utamanya adalah aset menghasilkan arus kas positif atau pendapatan pasif. Ini berarti Anda mendapatkan uang dari aset tersebut tanpa harus secara aktif bekerja untuknya. Kiyosaki menekankan bahwa definisi ini jauh lebih penting daripada definisi akuntansi yang mungkin menyebutkan properti atau barang-barang bernilai sebagai aset.