Ditembak Pakai Senapan, Masuk Rubrik “Jumpandang Sehari-hari”

Jumpandang sehari-hari
Rusdin Tompo

Terasa bagian leher saya hangat. Sementara bagian ujung lidah bagai mengulum besi. Teringat sewaktu kanak-kanak, saya pernah menaruh uang logam di lidah. Nah, seperti itulah rasanya.

Begitu saya menurunkan tangan, saya melihat ada bercak darah. Saya palingkan wajah ke arah kakak saya, dan spontan berkata, “Dikenna ka.” Maksudnya, saya terkena tembakan.

Ya benar, tembakan itu tepat berada di bawah dagu, hanya beberapa inci dari tenggorokan saya. Karena khawatir ada peluru bersarang di situ, saya pun melapor ke polisi lalu ke RSI Faisal.

Selanjutnya saya dirujuk ke RS Bhayangkara untuk divisum. Peluru senapan angin yang terbuat dari timah pun diangkat saat operasi. Leher saya mendapat sembilan jahitan, gegara tembakan itu.

Sebelum dioperasi, saya sempat mendengar kalau peluru dari senapan angin yang berada di tubuh korban, kemungkinan bisa bergerak mengikuti aliran darah. Itu bisa terjadi, bila korban penembakan tak segera ditolong.

Dalam kasus saya ini, kejadian penembakan terjadi sekira pukul 05.00 wita. Saya dioperasi antara pukul 12.00-13.00, dan nanti baru sadarkan diri pada pukul 20.00-21.00 wita.

BACA JUGA:  Rahman Rumaday Mahasiswa Penjelajah Kampus Akhirnya Wisuda Juga

Pelaku penembakan masih keluarga kami sendiri, buntut dari persoalan tanah di mana kami tinggal, yang luasnya juga mencakup tanah di ujung Jalan Letjend Hertasning dan Jalan Aroepala itu.

Pada saat saya menjalani opname, seorang wartawan Pedoman Rakyat (PR) datang mewawancarai saya di RS Bhayangkara Jalan Mappaodang. Dalam posisi masih terbaring dan diinfus, saya ditanya terkait peristiwa yang menimpa saya itu.

Kasus saya ini kemudian diberitakan oleh harian Pedoman Rakyat, di rubrik “Jumpang Sehari-hari”. Rubrik ini memuat persoalan-persoalan warga Kota Makassar. Walau nama saya salah ditulis dalam berita itu. Dapat dipastikan, yang dimaksud Agustin dalam rubrik itu adalah saya.

Sebab, tempat kejadian perkara (TKP) dan kronologis kejadiannya persis seperti yang saya alami. Hanya nama saya dalam judul beritanya salah ditulis hehehe.

Saya masih ingat wajah wartawan PR yang, katanya, tinggal di Perumnas Tamalate itu. Tulisan wartawan itu mengingatkan saya pada Prof Dr Achmad Ali, dosen kami di Fakultas Hukum Unhas.

Dalam suatu kesempatan kuliah di Ruang H33, pakar sosiologi hukum, yang juga seorang karateka itu secara berseloroh berkata kepada kami, mahasiswanya, kalau nanti masuk koran, jangan di halaman “Jumpandang Sehari-hari”.

BACA JUGA:  PUASA DAN MANAJEMEN KEBAHAGIAAN

Mereka yang tahu konteksnya, lantas tersenyum mendengar pernyataan itu. Prof Achmad Ali dikenal sebagai penulis produktif dan seorang kolumnis.

Ketika saya mendaftar di Radio Venus AM, leher saya masih dibalut perban. Bahkan leher itu masih berhiaskan perban putih saat bekerja di masa-masa awal sebagai seorang broadcaster. (*)