Di Balik Peluncuran Edisi Revisi Buku “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur” (12-Habis): Responsif Terhadap Diskriminasi Gender

Saya juga masih ingat Prof. Amir pernah berpesan.
“Jika Anda sudah jadi pemimpin, kalau mengambil keputusan dan itu benar, maka harus bisa meyakinkan orang lain bahwa Anda mau ambil keputusan itu. Dengar pendapat orang lain juga boleh, tetapi jangan sampai mengubah keputusan Anda yang dianggap benar.

Jadi, di balik ketegasan, kita tetap menjaga silaturahim. Pada akhirnya kalau keputusan itu diambil, itulah prinsip seorang pemimpin”.

Jadi, saya mencoba melakukan seperti yang dikemukakan Prof. Amir. Mendengar pandangan orang boleh, tetapi ketika mengambil putusan itu adalah pertimbangan dan hak seorang pemimpin itu sendiri, dalam hal ini kapasitas sebagai rektor.

Ketika menjelang meninggal, Prof. Amir memang sangat terpukul atas kepergian istrinya, Ibu Rosani. Saya masih ingat, ketika penjaringan awal, November 2013, saya datang ke rumah beliau. Saya pun menjelaskan progres perolehan dukungan pada penjaringan tersebut dengan memperoleh jumlah dukungan kedua terbanyak dan masuk tiga besar. Ketika saya memberitahukan itu, Prof. Amir merespons dengan baik.
“Oh..bagus,’’ katanya dan beliau dengan kondisi yang kian melemah tidak banyak berkomentar seperti dalam pertemuan kami sebelum-sebelumnya.

BACA JUGA:  Petualangan Spiritual Tak Berujung Syahriar Tato

Ketika Prof. Amir meninggal, saya sangat sedih. Saya merasa, motivasi saya semakin kuat karena pandangannya. Beliau tidak mengatakan saya harus ini dan harus itu, tetapi memberikan pandangan yang membesarkan jiwa. Beliau bilang begini:
“Makin banyak calon yang maju, makin baik. Jadi, orang-orang Unhas itu terbukti memiliki kemampuan. Beda dengan ketika dulu, saya ditunjuk,” papar Prof. Amir sedikit mengenang masa lalunya. Katanya lagi, untuk menjadi rektor terpaksa “dipulangkan”.
“Jadi kalau sekarang begitu, berarti Unhas semakin bagus,” tambah Prof.Amir.

Saat beliau meninggal itu…. saya merasa selain sebagai guru – jelas – panutan, pimpinan kita, tetapi juga merasa kehilangan sebagai bapak… (Prof.Dwia Aries Tina Pulubuhu…berhenti beberapa detik, seperti sedang berusaha menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan kalimatnya, ed.).

Jadi kalau sekarang, saya menghadapi suatu situasi yang pelik di Unhas, langsung suka berkontemplasi ke belakang. Dulu, Prof. Amiruddin dengan sarana terbatas saja, bisa melakukan yang terbaik. Saya selalu katakan kepada teman-teman di Unhas, kita ini mampu dengan sumber daya manusia yang unggul. Kita tinggal wujudkan saja, jangan hanya bicara, tetapi dengan dulu saja saat situasi dan kondisi terbatas, Prof. Amir bisa meletakkan Unhas seperti sekarang dan seharusnya kita lebih bisa. Mengapa kita yang sekarang tidak mampu?.