Padahal, pemerintah belum menciptakan hal demikian (saat itu belum ada Perumnas, KPR BTN, dan sejenisnya). Kini, masalah perumahan dosen dan karyawan Unhas sudah jadi ‘komoditas’ mewah dan langka (terbatas persediaannya).
Ada lagi satu pengalaman yang saya anggap tidak semua pimpinan sanggup berbuat demikian. Pak Amiruddin sebagai rektor menjadi ‘pengawas’ pada setiap proyek dan dapat honorarium, Meskipun kadang-kadang ada proyek-proyek ditangani Pembantu Rektor III atau Pembantu Rektor I, tetapi rektor biasanya selalu dapat honorarium.
Satu waktu, saya dilapori oleh salah seorang staf, saya yang ternyata cukup jeli melihat sesuatu. Dia mengatakan:” Pak, ini distribusi penghasilan kelihatan menumpuk pada orang-orang tertentu”.
Sebagai Pembantu Rektor II memerintahkan agar dibuat matriks. Dengan begitu, dapat dilihat nanti, siapa yang paling banyak dapat proyek. Setelah itu disusun, maka kelihatan rektor mendapat paling banyak.
Pembantu Rektor I juga dapat paling banyak. Pembantu Rektor II hampir tidak dapat. Kepala biro dan dekan tidak dapat banyak. Kepala Bagian Keuangan tidak kebagian. Ketidakseimbangan itu lantas saya perlihatkan padanya (rektor).
“Iya, nggak fair kalau begini,” kata Pak Amiruddin.
Akhirnya, berdasarkan matriks yang dibuat, timbullah kebijaksanaan baru. Antara lain isinya adalah pembagian honorarium dari proyek disesuaikan dengan beban tugasnya di Unhas.
Maka dibuatlah scoring (beban berat). Misalnya, kalau rektor bobotnya 100, dekan bobotnya berapa, begitu pun Pembantu Rektor, sehingga nanti honorarium pada proyek yang ada di Unhas itu, dibagi dengan bobot kredit. Semua didistribusikan ke dalam matriks. Alhasil, semua orang senang. Orang merasa dibayar sesuai dengan tanggung jawabnya. (Bersambung, MDA).