Dari Perayaan Proklamasi di Pura Agung Besakih: MERAWAT KULTUR YANG MEMBUAT INDONESIA NOMOR SATU

Dari tradisi zakat, sedekah, dana punia, (pemberian sukarela), hingga kebiasaan berbagi makanan, Indonesia unggul dalam kebajikan kolektif.

Kebajikan inilah yang terbukti lebih menentukan daripada sekadar angka pendapatan.

-000-

Saat lonceng pura berdentang, saya merenung. Filosofi utama dari semua ini ialah: flourishing bukan tentang seberapa jauh kita melangkah sendiri, tetapi seberapa erat kita berjalan bersama.

Pura Besakih—yang disebut Mother Temple of Bali—bukan hanya pusat spiritual Hindu, melainkan simbol pertemuan ribuan tahun tradisi.

Di sini, manusia sadar bahwa mereka bagian dari jaringan kosmis yang saling terkait: manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Yang Ilahi.

Begitu pula Indonesia. Kita nomor satu bukan karena kilang minyak terbesar atau gedung pencakar langit tertinggi.

Melainkan karena jaringan sosial yang hangat: simpul-simpul kecil di rumah ibadah, pasar, RT, hingga warung kecil di pojok jalan.

Namun sejarah mengajarkan: semua nilai budaya bisa layu bila tidak dirawat.

Modernisasi cepat, urbanisasi padat, dan arus individualisme global dapat menggerus keakraban sosial ini.

BACA JUGA:  Budaya, Praktik Politik, dan Gerakan Advokasi

Banyak negara maju kini terperangkap dalam kesepian massal—meski rakyatnya makmur.

Indonesia harus belajar dari mereka: jangan biarkan pertumbuhan ekonomi merampas kehangatan sosial.

-000-

Yayasan Bhakti Indonesia: Simpul Kecil, Arti Besar

Di sinilah peran Yayasan Bhakti Indonesia, yang dipimpin Mulia Jayaputri, menjadi penting. Setiap tahun, Proklamasi diperingati bukan di lapangan upacara, melainkan di rumah ibadah.

Di Masjid Istiqlal (2023), Gereja Katedral (2024), dan kini Pura Besakih (2025). Tahun depan, di vihara atau kelenteng di Semarang (2026), lalu Candi Borobudur (2027).

Di ruangan acara Bhakti Indonesia saat ini, saya melihat banner ucapan selamat yang unik dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Agama Nazaruddin Umar.

Juga banner dari Ketua Dewan Ekonomi dan Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, hingga Menteri Sosial Saifullah Yusuf, dan Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana.

Banyak banner tokoh lain, termasuk diri saya sendiri yang ditulis Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi.

Terpasang pula kutipan dari Presiden Prabowo soal makna kemerdekaan sejati. Bahwa tidak cukup kita merayakan kemerdekaan dengan upacara bendera, dan parade, jika di sudut-sudut negeri masih ada anak yang kelaparan.

BACA JUGA:  Di Balik Peluncuran Edisi Revisi Buku “A.Amiruddin Nakhoda dari Timur” (6): Ditawari Pimpin Unhas, “Ada Minat?”

Atau guru yang tidak dihargai, petani yang merugi, dan keluarga yang takut jatuh sakit karena biaya berobat