– Mengenang Affan Kurniawan (AK)
Oleh Denny JA
NusantaraInsight, Jakarta — Hari itu, 28 Agustus 2025, langit Jakarta menggantung rendah. Awan hitam seperti ikut berduka.
Di tengah kerumunan massa yang resah di depan gedung parlemen, dentuman suara sirene dan deru mesin kendaraan aparat memecah malam.
Di sudut jalan, seorang pengemudi ojek online bernama AK kebetulan melintas. Ia tidak membawa poster, tidak berteriak slogan, tidak berbaris bersama demonstran.
Ia hanya lewat—barangkali setelah mengantarkan order makanan, atau sekadar dalam perjalanan pulang.
Namun takdir berkata lain. Di tengah kekacauan, mobil aparat melaju, dan tubuh AK tergilas.
Darah mengalir, helmnya terpental, dan seketika ia meregang nyawa. Di jalan raya yang tiap hari ia lalui untuk mencari nafkah, ia justru menutup usia.
Kabar itu menyebar cepat. Grup WhatsApp komunitas ojol mendadak ramai. Telegram channel mereka penuh seruan.
Notifikasi berdering tanpa henti: seorang rekan, seorang saudara, seorang sesama pengemudi, telah gugur bukan karena kecelakaan biasa, tetapi akibat benturan kekuasaan dengan rakyat.
-000-
Keesokan harinya, ribuan pengemudi ojol berbondong-bondong datang. Jaket hijau mereka menutupi jalanan Jakarta, menciptakan lautan manusia yang bergerak serempak.
Mereka bukan sekadar mengantar jenazah ke peristirahatan terakhir. Mereka mengirimkan pesan: solidaritas kami hidup, lebih besar dari sekadar aplikasi yang mempertemukan pelanggan dan pengemudi.
Fenomena ribuan ojol yang mengawal jenazah AK bukanlah sekadar pawai duka. Itu adalah pernyataan sosial, sebuah “manifesto diam” bahwa komunitas ini punya ikatan batin yang melampaui urusan order harian.
Para ojol adalah wajah urban Jakarta: mereka yang mengisi celah kebutuhan mobilitas dan logistik.
Kita melihat mereka di setiap lampu merah, di setiap lobi kantor, di depan sekolah, di perumahan, di gang sempit sekalipun.
Mereka menyapa, mengantarkan, menunggu. Mereka menjadi nadi baru kota yang berdenyut 24 jam.
Namun ketika ribuan di antara mereka bersatu, kita menyadari: ojol bukan hanya unit individu yang tersebar. Mereka adalah komunitas horizontal dengan kapasitas kolektif besar.
• Mereka punya seragam simbolik: jaket hijau yang mudah dikenali.
• Mereka punya jaringan komunikasi instan: grup WhatsApp, Telegram, bahkan fitur broadcast aplikasi.
• Mereka punya solidaritas organik: pengalaman senasib sebagai pekerja di jalanan, menghadapi panas, hujan, orderan fiktif, tilang, atau sekadar penolakan pelanggan.
Solidaritas ini berbeda dengan organisasi tradisional. Ia lahir bukan dari ideologi politik, bukan pula dari struktur formal.


br






br






