Tulisan-tulisan yang disajikan secara menarik menurut gaya penulisan wartawan bertutur tentang interaksi para penulis dengan Pak Atma.
Termasuk beberapa judul yang dikisahkan Mas Priyambodo pada halaman-halaman akhir buku tersebut. Kisah wartawan menulis tentang sosok wartawan selalu menawarkan hal yang menarik dan berkadar humor karena selalu mampu memahami selera pembaca. Mereka maklum menu tulisan yang digandrungi. Ya, kisah unik dan bernada humor.
Saya mengenal Pak Atma karena seringkali mengikuti paparannya dalam berbagai forum, termasuk ketika mengikuti “training of trainer” (pelatihan untuk pelatih) UKW Angkatan I di Jl. Jaksa Jakarta Pusat 11-12 Januari 2012 yang mengantar saya sebagai alumnus LPDS dan penguki UKW I PWI.
Tulisan-tulisan yang dimuat di dalam buku ini merupakan rangkaian “in memoriam” Pak Atma yang bersumber dari para sahabatnya. Pak Atma dilahirkan 20 Oktober 1938, pada zaman Hindia Belanda dan meninggal: 2 Januari 2025, di Rumah Sakit Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ayah tiga anak ini dengan istri Sri Rumiati Atmakusumah ini adalah pemenang Penghargaan Ramon Magsaysay tahun 2000 untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif bagi perannya dalam meletakkan fondasi profesional dan kelembagaan bagi era baru kemerdekaan pers di Indonesia.
“Pada tahun 2008 memperoleh penghargaan dari Aliansi Jurnalis Independen AJI) atas dedikasi dan komitmennya dalam memperjuangkan pers di Indonesia dan Lifetime Achievement dalam Anugerah Dewan Pers 2023 atas pengabdian dan jasanya kepada dunia pers,” tulis Wikipedia.
Dalam usia 19 Tahun
Karier Atmakusumah sebagai wartawan muda dimulai setamat sekolah menengah atas pada usia 19 tahun di Harian Indonesia Raya Minggu pada 1957. Kariernya di sini sangat pendek karena setahun kemudian harian ini dibredel pemerintahan Soekarno. Kehilangan pekerjaan, Atmakusumah sempat berkuliah, berpindah-pindah kerja. Merasa tidak aman berada di bawah pengawasan sensor militer, akhirnya dia memutuskan meninggalkan Indonesia untuk bekerja di Australia dan Jerman.
Sesudah pergantian rezim pemerintahan, pada 1968, pemimpin redaksi Mochtar Lubis mengajaknya menerbitkan kembali Harian Indonesia Raya. Atmakusumah setuju. Di harian ini kariernya berkembang sampai diangkat menjadi redaktur pelaksana.
Namun demikian, pada 1974 harian ini kembali dibredel. Kali ini oleh pemerintahan Soeharto, terkait pemberitaan peristiwa Malari.
Masuk ke dalam daftar hitam, tidak bisa bekerja sebagai wartawan atau penulis, Atmakusumah bekerja di kedutaan besar Amerika Serikat sebagai Asisten Pers sampai pada 1992. Wartawan senior Djafar Assegaff memintanya mengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS). Dua tahun kemudian ia menggantikan Djafar sebagai direktur eksekutif.


br
br
