Cukur Sumpah Pemuda, Janggut Kumis Habis

Memanfaatkan waktu tidak keluar rumah, ya, saya menulis dan membaca buku. Namun tiba-tiba saya berpikir, ada baiknya pergi mencukur rambut karena pandangan selalu merasa terganggu setiap berkaca di cermin.

Langganan saya adalah tukang cukur Madura di dekat pintu masuk ke Kompleks BTN Makio Baji, Jl. Antang Raya Makassar. Tukang cukur ini memang sudah lama menjadi langganan saya. Ya, tukang cukur kilat dan cepat. Tinggal pilih model saja. Babat habis atau cukur tipis-tipis.
Dulu, ketika rambut belum se-‘kritis’ seperti ini, saya bisa bercukur di salon. Tukang cukurnya seorang waria. Dia sudah meninggal karena kerap menenggak obat terlarang. Kasihan. Padahal selalu mengingatkan ketika dia memotong rambut saya, agar menjauhi barang laknat itu.

Saya suka memilih dia karena banyak pengalamannya yang menarik. Dia biasa bercerita tentang pengalamannya bertualang ke berbagai daerah menjalani kariernya sebagai pekerja salon. Hanya biasanya, setelah usai bercerita, selalu keluar kalimat penutupnya.

“Pasti dapat tip ini, karena sudah ma bercerita tokh,” ujarnya.

BACA JUGA:  Saat Pramugari ‘Tumbang’ ke Pangkuan Penumpang

“Ya, nantilah!,” jawab saya pendek.

Kembali ke tukang cukur Madura. Lantaran sudah menjadi langganan, setiap saya muncul tukang cukur Madura itu selalu melontarkan pertanyaan klise.

“Modelnya, Pak Aji. Kasih tipis-tipis kiri, kanan, belakang. Atas dirapikan?,” tanya tukang cukur itu yang biasa saya panggil “Mas”. Kalimat itu sudah menjadi klise.

“Ya..,” jawab saya pendek.
“Cepat juga rambut Pak Aji lebat ya. Yang di lereng kiri-kanan dan belakang,” katanya bernada ‘nyenggol’ karena tahu setiap saya datang hanya bagian itu saja yang minta ‘dibereskan’.

“Iya, betul-betul lucu. Yang bagian atas, justru tambah kritis,” sahut saya sembari tertawa kecil.

Jika sudah diberi tahu seperti ini, dia tinggal sikat kiri-kanan dan belakang, lalu merapikan bagian atas yang tidak menghabiskan waktu lama.

“Janggut dan kumis habis?,” terdengar pertanyaannya lagi dan rasanya ini kalimat baru. Biasanya saya yang memberi tahu.

“Ya. Alis dirapikan,” jawab saya dan alat cukurnya mulai “jelalatan” dengan gesit.

Alis ini termasuk lahan di bagian kepala yang juga subur. Sebab, walaupun sering dipangkas, ukurannya selalu bertambah panjang. Yang tampak mengganggu, ujung-ujungnya jika “bersekutu” sering menghalangi penglihatan. Jika diterpa angin, kadang-kadang bagaikan bendera. Berkibar-kibar. Ha..ha..

BACA JUGA:  Saat Pramugari ‘Tumbang’ ke Pangkuan Penumpang

Berdasar bagian yang “dibabat”, lama waktu cukur saya tidak pernah lebih dari 10 menit. Kebetulan pula pada hari Sumpah Pemuda itu, dari tiga kursi yang tersedia, masih tersisa dua yang kosong. Jadi, saya langsung saja memilih kursi paling ujung kanan.

br
br