Bencana Terus Berulang, Mempertanyakan Peri’ayahan Negara

Oleh: Cia Ummu Shalihah

NusantaraInsight, Makassar — Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadi 4.940 bencana sepanjang 2023. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2022.

“Indonesia merupakan satu negara dari 35 negara di dunia yang potensi risiko bencananya paling tinggi, sehingga dikatakan kalau tadi di 2022, 3 ribu begitu ya memang ribuan terus, di 2023 BNPB mencatat lebih tinggi lagi 4.940 kali bencana,” kata Kepala BNPB Letjen Suharyanto dalam konferensi pers di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Jumat (12/1).

Suharyanto menjelaskan kejadian bencana alam didominasi oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir serta cuaca ekstrem.

Ia merinci ada 1.802 karhutla, 1.170 bencana banjir, 1.155 cuaca ekstrem, 579 tanah longsor, 168 kekeringan, 31 gelombang pasang dan abrasi, 31 gempa bumi, dan 4 erupsi gunung berapi.

Sementara ada 34.832 rumah yang mengalami kerusakan akibat bencana alam pada periode 2023.

Kemudian 426 fasilitas pendidikan rusak, 380 fasilitas peribadatan rusak, dan 71 fasilitas kesehatan rusak. Kerusakan juga turut terjadi pada 127 kantor dan 249 jembatan (CNN Indonesia,12/1/2024).

BACA JUGA:  Lebih Dalam Prof Muhlis Madani, Waketum PGRI Sulsel Segudang Prestasi

Salah Kelola Pembangunan

Banjir yang terjadi di Indonesia tentu bukanlah hal yang baru, setiap musim penghujan beberapa kota besar di Indonesia selalu menjadi langganan. Banjir yang selalu terjadi berulang, dan semakin lama semakin parah, di mana kita bisa melihat hal ini pastilah persoalan sistemik. Banjir sistematik dapat selesai dengan proyek yakni bendungan baru, pompa baru, kanal baru, dan lain-lain. Semua ini berkaitan dengan sistem-teknis.

Namun, tidak mungkin ada asap jika tidak ada api. Mungkin peribahasa tersebut cocok untuk menggambarkan keadaan saat ini. Musibah datang karena berbagai sebab yang memantik. Dan semuanya erat hubungannya dengan konsep pembangunan yang tidak terencana dengan baik. Tidak ada rencana komprehensif yang mendalam saat akan membangun suatu infrastruktur.

Model pembangunan yang diterapkan saat ini adalah pembangunan ala kapitalisme yang hanya mengutamakan keuntungan para korporat kapitalis. Mereka abai terhadap dampak yang ditimbulkan. Tata kelola lingkungan dipinggirkan begitu saja. Akibatnya, rakyat yang menjadi korban. Terjadi korban jiwa, rumah warga terendam, penduduk harus mengungsi. Setelah banjir, marak terjadi diare.

BACA JUGA:  Surat Terbuka untuk Calon Wali Kota Makassar: Antara Harapan dan Kenyataan, Menuju Masa Depan Kota yang Gemilang

Inilah fasad akibat pembangunan kapitalistik yang mengabaikan aturan Islam dan hanya memperturutkan hawa nafsu manusia untuk memperoleh keuntungan materi sebanyak-banyaknya.

Sistem demokrasi kapitalisme yang saat ini berjalan, akan melahirkan penguasa yang abai dan selalu melimpahkan tanggung jawabnya pada pihak lain. Sistem ini tidak akan pernah melahirkan pejabat untuk mengurusi umat dengan sepenuh hati.