Belajar Menerima Rasa Sakit

Rasa sakit
Mohammad Haekal Rumaday (Mahasiswa UIN Alauddin, Makassar)

Aku jawab dengan nada sedikit kesal, “Yah tentu saja gelar, pencapaian yang gemilang, kesuksesan atau semacamnya.”

“Kamu salah kali.”

Kata dia, hal yang paling membuat orang tuamu bahagia adalah komunikasi. Ya betul komunikasi. Ketika orang tuamu tahu bahwa anak yang selama ini mereka banggakan baik-baik saja, itu sudah merupakan suatu kebahagiaan terbesar bagi mereka, terlepas dari semua pencapaian yang kau maksud.

Dia melanjutkan, kau seharusnya menjaga komunikasi baik dengan mereka, terlepas dari semua pandanganmu terhadap peristiwa yang terjadi. Yakinlah bahwa suatu saat kamu akan paham atas takdirmu. Ikhlas dan terimalah ini sebagai takdirmu. Terpenting jaga komunikasimu sama orang tuamu sebelum penyesalan itu datang. Jadikanlah ini suatu pelajaran semoga kelak kamu bisa bermanfaat bagi keluargamu dan orang lain.

Demikianlah percakapan kami.

Hari terus berjalan tanpa memberiku jeda dalam memikirkan semua yang terjadi padaku. Air mata yang setiap malam mengalir serasa seperti sebuah kebohongan belaka. Aku belum sepenuhnya ikhlas atas apa yang terjadi.

BACA JUGA:  Mengenal Lebih Dekat Drs. Samsud Samad, M.M Nahkoda Baru PGRI Butta Toa Bantaeng

Aku terus memaki diri sendiri. “Hey pecundang, mau sampai kapan kau mau tangisi semua ini? Bangun dan lakukan sesuatu. Jangan jadi pecundang yang menyerah, ciptakan takdirmu sendiri.”

Ku coba untuk renungi nasihat kak Ali.
Jujur saja aku cukup tertampar dengan nasihatnya. Aku terlalu mementingkan ego dalam melihat peristiwa ini. Aku seharusnya menerima ini semua, sebagai bentuk ujian hidup, bukan memaksa sesuai kehendakku.

Yah, semua ini harus dilakukan step by step. Kembali aku bangun komunikasi yang baik dengan orang tuaku, adikku, dan kakak-kakakku. Tanpa aku sadari, energi positif perlahan serasa mengelilingiku. Aku kembali bersemangat dalam kuliah. Perlahan aku terima ini sebagai pelajaran hidupku.

Barangkali jika kita terlalu nekat dalam bermimpi dan bercita-cita, maka kita juga harus bersiap dalam menghadapi hambatan dan rintangannya. Jadi, dewasa itu adalah tentang pilihan dan nilai yang harus dipertanggungjawabkan. (*)