Belajar Jurnalisme Radio Dengar Symphony No 5 Beethoven

Untuk bisa memanfaatkan apa yang jadi ciri dan karakter radio itu, David W Candow mengajari kami, bagaimana membuat feature radio dengan memperhatikan “tone” (nada), “pitch” (tinggi rendah suatu bunyi yang terdengar), dan “speed” (kecepatan). Biar mudah dipahami, dia menjelaskan, kalau mau memasukkan suara asli narasumber (actuality voice), perlu memperhatikan, apakah kualitas rekamannya baik, apakah dia menjelaskan dengan tempo yang cepat, atau apakah nada suaranya pelan? Ingat, kembali pada suara yang jadi ciri dan kekuatan radio.

Naskah siaran radio, pada hakikatnya ditulis untuk didengar. “Menulis untuk telinga,” begitu biasa disampaikan. Sehingga, dalam kaitan dengan jurnalisme radio, perlu memperhatikan alur ceritahnya, dinamika beritanya, dan aspek yang bisa memainkan imajinasi serta emosi pendengar.

Saat pelatihan itu, saya baru tahu bahwa naskah radio tidak ditulis mengambil seluruh halaman kertas. Naskah ditulis hanya menggunakan sepertiga halaman, tapi ditempatkan pada bagian tengah secara vertikal. Tujuannya, mata tidak terlalu jauh melirik ke kiri dan kanan, saat dibaca. Coba perhatian penyiar TV, saat membaca berita, terlihat matanya fokus di layar.

BACA JUGA:  Penggunaan AI Dalam Jurnalisme

Pelatihan jurnalisme radio yang saya ikuti, dengan trainer David W Candow itu, tidak menangkap peristiwa-peristiwa besar, tapi dampak dari suatu peristiwa terhadap kehidupan. Lebih pada sisi human interest-nya. Dalam peristiwa pemilu 2024 ini, misalnya, pemilihan presiden dan wakil presiden untuk periode 2024-2029, hanya latar saja. Liputannya akan mengungkap kisah hidup orang-orang yang terpinggirkan, yang suaranya tidak tertangkap kamera televisi dalam gelaran besar pesta demokrasi lima tahunan ini. (*)

Gowa, 16 Februari 2024