Bangun Wacana Publik dari Koran Hingga Televisi

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)

“Kita itu ibarat batu kerikil, yang dibutuhkan, lalu dijadikan buah dam. Itu pun batu kerikilnya tanpa bentuk. Namun, batu itu bisa mewarnai permainan.”

NusantaraInsight, Makassar — Kalimat perumpamaan ini dilontarkan AB Iwan Azis, dalam obrolan kami di Warkop Azzahrah, Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar, Rabu, 3 September 2025. Hari itu, selain saya dan Iwan Azis, juga ada Mustam Arif, mantan wartawan Pedoman Rakyat, bersama kami ngopi.

“Kita”, yang dimaksud oleh lelaki 79 tahun itu, adalah saya. Dalam komunikasi ala orang Makassar, “kita” merupakan sebutan kata ganti orang kedua tunggal.

Menurut Iwan Azis, beliau sudah lama mau mengajukan pertanyaan, “Siapa dan dari mana Rusdin Tompo ini, sehingga dia bisa menjadi seseorang?” Katanya, kalau selama ini, saya sering mewawancarai beliau maka kali ini beliau mau mewawancarai saya hehehe.

Saya menanggapinya dengan senyum. Begitupun dengan Mustam Arif, yang terkesan hanya menyimak, tanpa ikut berkomentar.

Iwan Azis mengaku, beliau mengetahui saya dari pemberitaan dan tulisan-tulisan saya di surat kabar. Ketua organisasi pengusaha reklame ASPRI yang pernah jadi wartawan itu, juga kerap melihat saya bila diundang sebagai narasumber TV.

BACA JUGA:  Jejak Pertemuan di Puncak Bogor Jawa Barat

Saya sampaikan, saya memang bukan siapa-siapa dan bukan anak siapa-siapa. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Makassar, di tahun 1987, saya bahkan tidak mengenal kota ini.

Meski Makassar kampung halaman bapak dan ibu saya. Bapak-Ibu saya asli Rappocini. Namun, saya lahir dan besar di Ambon. Ketika akan kuliah baru ke Makassar.

Kalau soal media, kata saya, ada era ketika saya sangat proaktif membangun wacana publik terkait hak-hak dan perlindungan anak. Itu saat saya punya LSM sendiri. Saya mengistilahkan upaya ini sebagai diversifikasi isu anak.

Tekad saya sederhana. Saya hanya mau tunjukkan bahwa dalam setiap persoalan, ada isu anak di dalamnya. Anak-anak rentan menjadi korban.

Saya contohkan. Misalnya, dalam kerusuhan massa di sejumlah kota, pada akhir Agustus 2025 lalu, ada persoalan perlindungan anak yang butuh perhatian.

Kepada Iwan Azis dan Mustam Arif, saya sampaikan bahwa sejak mencoba mandiri di tahun 2002, saya sudah membuat goal: kalau orang bicara isu anak, Rusdin Tompo di kepalanya!

BACA JUGA:  Agustus Merdeka, Agustus Kelabu: Sebuah Catatan Paradoks

Fase mandiri ini ditandai oleh 2 hal, yakni saya mendirikan Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN), dan pindah dari rumah orangtua di Jalan Letjen Hertasning No 45B (Hertasning Timur), ke rumah kontrakan di BTN Tirta Mas D2, Jalan Daeng Tata I.

br