Badaruddin Amir dan Buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia

Badaruddin Amir
Rusdin Tompo

Bisa jadi, dari kegiatan di Makkareso itu Badaruddin Amir merekeng saya. Apalagi dia bisa melihat semua aktivitas saya di beranda FB. Demikian simpulan pikiran saya yang ke-GR-an hehehe.

Era Makkareso, harus diakui menjadi titik awal saya masuk dalam lingkaran kesenian. Meski seni selalu jadi bagian dari metode saya dalam membangun kesadaran kritis bersama anak-anak di dunia NGO. Namun brand saya sebagai pemerhati isu anak lebih menonjol dibanding kegiatan seni, khususnya sastra.

Bagaimana tidak. Di Makkareso, kami bikin acara baca puisi kemudian mempostingnya di Facebook. Tentu saja, baca puisi dengan hidangan kopi dan pisang goreng. Sesekali dengan menu bakso dan jalangkote. Nyaris sore tidak dibiarkan lewat begitu saja tanpa acara baca puisi.

Salah satu acara pembacaan puisi itu kami beri nama “Sajak-Sajak Merdeka”, guna memperingati HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2016. Kami juga tour ke STKIP YAPTI, Jeneponto, menggelar “Jappa-Jokka Makkareso” dengan mengadakan pembacaan puisi di halaman kampus, di bawah rimbun rumpun bambu.

BACA JUGA:  Pengantar Buku Riset Internasional LSI Denny JA: MENENTUKAN KEMAJUAN NEGARA MELALUI INDEKS TATA KELOLA PEMERINTAHAN

Semangat Makkareso menghidupkan kegiatan sastra, membuat kami mengadakan macam-macam acara. Peluncuran dan diskusi buku penyair M Amir Jaya, bahkan dua kali diadakan. Selain yang sudah saya ceritakan tadi, ada pula diskusi buku kumpulan cerpennya.

Pada tanggal 26 September 2016, lagi-lagi kami keluar markas, menggelar diskusi novel La Galigo karya Idwar Anwar di Graha Pena, atas dukungan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan.

DPK Provinsi Sulawesi Selatan juga menjadi mitra kami saat mengadakan Peringatan “1 Tahun Kepergian Rahman Arge”. Untuk mengenang aktor dan penulis kawakan ini, Makkareso mengadakan lomba baca puisi, esai, dan sketsa wajah Rahman Arge.

Bendera Makkareso juga saya bawa ketika mengelola program acara “Pappasangta” di RRI Pro4 Makassar. Acara baca puisi setiap malam Jumat ini, membuat perkenalan dan jejaring saya dengan penulis, penyair, sastrawan, dan pegiat literasi kian luas.

Momen ini semakin menarik saya pada ekosistem gerakan literasi. Apalagi, saya sudah putuskan untuk concern sebagai penulis profesional.

BACA JUGA:  KARTINI DI ZAMAN DIGITAL

Pertemuan kedua saya dengan Badaruddin Amir terjadi saat kegiatan Hari Puisi Indonesia (HPI) di Teater Arena Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Jalan Riburane, Makassar. Dia hadir saat peluncuran buku “Kata-Kata yang Tak Menua” (Garis Khatulistiwa, Juli 2017).

Terdapat 74 nama penyair Sulawesi Selatan dalam buku yang digagas oleh Benteng Penyair Makassar dan Sastra Kepulauan ini. Kurator buku ini terdiri atas Asia Ramli Prapanca, Mahrus Andhis, Nawir Sultan, dan Goenawan Monoharto.