Penulis: Rika Arlianti DM
“Bolehkah aku jatuh cinta? Jika boleh, akan kubawa ke mana cinta ini?”
Sebuah pertanyaan menarik terlontar dari ustazah Arni Susanti ketika hendak memaparkan materi di sebuah kegiatan muslimah putih abu-abu; Bina Ukhuwah Muslimah (BUM) Edisi Bulan Juli yang dilaksanakan oleh IPMI Bulukumba.
Namun, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus tahu, apa itu cinta?
Menurut KBBI, cinta berarti suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati (khawatir), risau.
Ada pun Ibnu Qayyim al-Jauzy memandang cinta sebagai kehidupan, sehingga orang yang tidak memilikinya maka ia seperti orang mati. Baginya, cinta adalah cahaya, siapa yang tidak memilikinya maka ia seperti berada di tengah lautan yang gelap gulita.
Menurutnya, cinta juga merupakan obat penyembuh. Siapa yang tidak memilikinya maka hatinya akan diendapi berbagai macam penyakit. Cinta disebut sebagai ruh iman dan amal, kedudukan dan keadaannya yang bilamana cinta tidak ada di sana, maka ia seperti jasad yang tidak memiliki ruh.
“Dengan kata lain, cinta adalah fitrah yang setiap manusia pasti memilikinya. Cinta adalah anugerah dari Rabb pencipta seluruh alam beserta isinya. Cinta dianugerahkan kepada manusia agar ia dapat menemukan jalan cahaya menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala,” tutur ustazah Arni.
Nah, setelah mengetahui makna cinta. Lantas, adakah cinta yang terlarang?
Berdasarkan pemaparan ustazah Arni pada kesempatan tersebut, jawabannya iya. Ada tiga jenis cinta yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pertama, syirik kepada Allah yaitu mencintai sesuatu melebihi rasa cinta kepada-Nya. Kedua, perzinaan yakni hubungan yang tidak terikat dengan pernikahan. Ketiga, suka sesama jenis, yang merupakan perilaku menyimpang dan menyalahi fitrah penciptaan manusia.
Perilaku menyimpang biasanya disebabkan karena adanya rasa kecewa kepada orang tua, entah karena kurang perhatian, pilih kasih, terlalu dimanja, atau bisa juga karena Broken Home. Pernah dikhianati, korban pelecehan, atau faktor lingkungan (pergaulan yang salah).
Penyimpangan tersebut pertama kali muncul pada zaman Nabi Luth. Mereka disebut Kaum Sodom. Dikisahkan, Nabi Luth memperingatkan kaumnya, yang saat itu perilaku mereka tidak pernah ditemukan pada masa-masa sebelumnya, yaitu suka sesama jenis. Sebelumnya keturunan Nabi Adam tidak pernah punya ketertarikan pada hubungan seksual semacam itu. Na’udzubillahi min dzalik.
“Maka berhati-hatilah dengan zaman fitnah ini. Zaman fitnah adalah zaman yang kita tidak boleh merasa aman. Sebab, bisa jadi kita terbebas dari fitnah lawan jenis (seperti pacaran dan seks bebas) tapi justru terjerumus dengan fitnah sesama jenis yang jauh lebih berat dosa dan akibatnya,” pesan ustazah Arni.