Ada Usul Menculik Westerling

Oleh M.Dahlan Abubakar

NusantaraInsight, Makassar –Mengisi waktu tak ada aktivitas di kampus, 8 Agustus 2925 seperti biasa, saya memelototi lima lemari buku di ruang perpustakaan pribadi.

Niat utama sebenarnya adalah menemukan buku tentang pelayaran Phinisi Nusantara ke Vancouver Kanada tahun 1986. Ternyata buku tersebut belum juga ditemukan. Malah yang saya menemukan buku kisah para wartawan yang berisi pengalaman mereka dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Ada beberapa buku memang, tetapi kali ini saya akan mengutip satu catatan Panda Nababan dalam bukunya berjudul “Jurnalisme Investigatif Panda Nababan Menembus Fakta, Autobiografi 30 Tahun Seorang Wartawan”.

Buku ini diterbitkan pada tahun 2009 Q Communication Jakarta. Saya membeli buku ini di Jakarta pada tanggal 30 September 2009. Mulai hari ini saya akan menurunkan kisah-kisah menarik dari pengalaman para wartawan ini. (*).

Tulisan hasil liputan Panda Nababan mengunjungi Pulau Buru awal Desember 1978 berupa hasil wawancara dengan Pramudya Ananta Toer yang dimuat 18 Desember 1978, ternyata menarik perhatian Pemerintah Belanda memberikan beasiswa kepadanya untuk memperdalam ilmu jurnalistik di ‘Nieuwe Rotterdamsche Courant’ (NRC) Handelsblad, salah satu harian pagi terkenal di negeri kincir angin.

BACA JUGA:  Saya Memulai Karier di Radio dengan Rp50

Media yang pertama kali terbit 1 Oktober 1970 ini setelah merger dengan “Amsterdam Newspaper, Algemeen Handelsblad” yang sudah lebih dulu terbit tahun 1844. berbahasa Belanda dengan sirkulasi (2017) sebanyak 202.097.

Pada 7 Maret 2011, format koran ini berubah dari ‘broadsheet’ ke tabloid dengan sirkulasi pada tahun 2014 sebanyak 188.500 eksemplar yang menempatkan media ini pada urutan keempat surat kabar harian nasional.

Di Negeri Belanda, Panda Nababan tidak saja sibuk menuntut ilmu dan pengalaman, tetapi juga terus mengirim tulisan ke redaksi “Sinar Harapan” Jakarta. Salah satu artikelnya berjudul “Westerling Merasa Dihianati Pemerintah Belanda” yang dimuat pada tanggal 25 November 1979, hasil wawancaranya dengan Raymond Paul Pierre Westerling, tokoh yang paling dimusuhi dan dimurkai rakyat Sulawesi Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Panda Nababan menemui Westerling di kediamannya di Amsterdam ketika dia berusia 60 tahun. Untuk menyambung hidupnya, dia menjual buku-buku baru dan bekas. Dia juga memiliki percetakan kecil dengan mesin ‘handpress’ (cetak tangan). Dia tinggal istri ketiganya dan seorang yang saat itu berusia belasan tahun.

BACA JUGA:  KEARIFAN DI BALIK ABOLISI TOM LEMBONG DAN AMNESTI HASTO KRISTIYANTO

Sebelum berlangsung wawancara selama 2 jam lebih dalam bahasa Inggris, pertanyaan pertama justru muncul dari Westerling, bukan diluncurkan Panda Nababan.