40 Tahun Berkarya, Goenawan Monoharto Diganjar Penghargaan dari Badan Bahasa Kemendikdasmen RI

Goenawan kembali tampil dalam pertunjukan “Perahu Nuh 2”, tapi kali ini bersama mahasiswa IKJ, dan pentas di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta, dengan sutradara Aspar Paturusi.

Pada tahun 2018, tampil dalam pementasan “Lagoa Wanted” di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta.

Pementasan berikut yang pernah diikuti, yakni “Tomanurung Baine”, produksi LAPAKKSS, dengan sutradara Yudhistira Sukatanya di Kutai, Kalimantan Timur, pada tahun 2025.

Di bidang sastra, Goenawan Monoharto aktif menulis puisi, cerita pendek dan kritik teater. Awalnya, dia belum berminat menerbitkan buku. Apalagi, kala itu, masih banyak kendala yang dihadapi untuk bisa menerbitkan buku.

Dia berasumsi bahwa menerbitkan buku itu susah dan mahal. Sebab dia belum mengetahui teknologinya. Kalaupun ada buku yang dia terbitkan, sifatnya hanya stensilan.

Faktor inilah yang menjadi semacam ‘dendam’ mendalam bagi seorang Goenawan Monoharto.

“Suatu ketika, saya akan menerbitkan sendiri puisi-puisi dan cerita-cerita saya,” tekad Goen, begitu sapaan akrabnya.

Setelah belajar membuat buku, akhirnya dia bisa mewujudkan impiannya, yakni punya usaha penerbitan di tahun 2000—tak lama setelah Reformasi.

BACA JUGA:  SEMESTA JURNALISME: DARI GUTENBERG HINGGA ZUCKERBERG

Dia pun semakin keranjingan menulis puisi, dan menerbitkannya sendiri. Terbalaslah dendam itu.

Bagaimana tidak. Dia punya otoritas bukan saja terhadap karya-karyanya tapi juga pada usaha penerbitannya. Dia kini bahkan dipercaya sebagai Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Sulawesi Selatan.

Tahun 2017, dia diberi mandat sebagai kurator dan kotributor untuk kota Makassar terkait penerbitan buku “Apa & Siapa Penyair Indonesia” (ASPI).

Editor buku terbitan Yayasan Hari Puisi Indonesia, tahun 2017, ini adalah Maman S. Mahayana, yang dikenal sebagai akademisi, sastrawan, dan kritikus sastra.

Nama Goenawan Monoharto termuat di halaman 215-216 pada jejeran lebih 650 penyair Indonesia yang ada di buku itu.

Sekarang ini, menurut penuturannya, dia sedang mengerjakan tiga buku, masing-masing “1980: Masa Emas Teater di Sulawesi Selatan”, novel “Dora Penturi”, berkisah tentang seorang gadis Ambon yang menjadi kekasih mata-mata Belanda pada masa penjajahan Jepang di Makassar, dan sebuah buku puisi tunggal yang dipersiapkan terbit tahun 2025 ini.

Di luar dunia sastra, Goenawan Monoharto juga bergiat sebagai pengurus dalam beberapa organisasi, terkait dengan seni budaya. Antara lain aktif di DKSS (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan), DKM (Dewan Kesenian Makassar), BKKNI (Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia), dan LAPAKKSS (Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan).