40 Tahun Berkarya, Goenawan Monoharto Diganjar Penghargaan dari Badan Bahasa Kemendikdasmen RI

NusantaraInsight, Makassar — Kabar gembira datang dari Goenawan Monoharto. Pada tahun 2025 ini, Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI menetapkan dirinya sebagai salah seorang penerima penghargaan sastrawan yang sudah berkarya lebih 40 tahun.

“Tulisan pertama saya muncul di Pedoman Rakyat, yang masih tersimpan baik dalam bentuk kliping,” ungkap Goenawan Monoharto, saat ngobrol dengannya di kantor penerbit de La Macca, Kamis, 31 Juli 2025.

Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 21 Maret 1957, ini mengakui, pentingnya pengarsipan dan pendokumentasian sehingga informasi terkait aktivitasnya bisa dilacak kembali.

Pernyataannya ini bisa dilihat pada ketelatenannya menyimpan buku-buku lawas terkait sejarah, fotografi, dan seni budaya, terutama sastra dan teater.

Terkadang, apa yang dilakukannya terlihat sepele, tetapi sesungguhnya penting. Dia, misalnya, hobi menyelipkan foto, nota buku, atau guntingan koran di antara lembaran-lembaran buku koleksinya.

Bahkan dia masih menyimpan sejumlah iklan pembatalan acara pernikahan warga keturunan Tionghoa, menyusul kerusuhan rasial di Makassar, tahun 1997.

Brosur-brosur pertunjukan teater yang dibuat sederhana, tetapi menggambarkan era keemasan teater di Makassar, dia juga punya. Belum lagi booklet lomba dan pameran fotografi, semuanya tersusun baik.

BACA JUGA:  Ngobrol Bareng Dr Liong Rahman, SH., M.Kn: Tukang Reparasi Sepatu Yang Jadi Notaris Populer

Goenawan Monoharto bercerita, dia sudah suka menulis sejak masih remaja. Usai SMA, dia mengikuti sekolah wartawan di Makassar, tahun 1977.

Kemudian, mengikuti pelatihan teater selama dua tahun anggaran, yang diselenggarakan di bidang kesenian, Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Sulawesi Selatan.

Sejak 2021 hingga sekarang, dia menerbitkan Majalah MACCA, yang berfokus pada literasi, pendidikan, dan seni budaya.

Selepas mengikuti pelatihan teater, bersama Kadir Ansari, Rasyid Ruppa, Ajiep Padindang, dan Muliati, dia membentuk grup teater yang diberi nama Teater Studio Makassar.

Teater ini sudah belasan kali menggelar pentas dari Makassar sampai ke Jakarta. Grup Teater Studio Makassar terakhir pentas sebelum wabah Covid 19 menyerang bumi.

Beberapa kali pentas di Graha Bakti Budaya, TIM Jakarta. Bermula pada tahun 1982, ketika tampil dalam drama “Samindara” bersama Teater Makassar, dengan sutradara Aspar Paturusi.

Pada tahun 1985, tampil dalam “Perahu Nuh 2”, bersama Teater Makassar, dengan sutradara Aspar Paturusi. Kemudian pada tahun 1995, tampil dalam pertunjukan “Karaeng Pattingalloang” bersama Teater Makassar, yang dipentaskan di Solo, dengan sutradara Jacob Marala.