News  

Zionis vs Diaspora

Oleh Aslam Katutu

NusantaraInsight, Makassar — Isu Yahudi kerap menjadi topik sensitif yang menyulut berbagai reaksi di panggung global. Namun satu hal yang perlu dicermati dengan kepala dingin dan hati terbuka adalah: ternyata tidak semua Yahudi itu sama, dan tidak semua mendukung kebijakan Israel. Bahkan, perbedaan mendasar bisa ditemukan antara warga Yahudi yang tinggal di Israel dengan komunitas Yahudi di negara-negara lain.

Perbedaan ini mencakup aspek ideologi, pengalaman sejarah, sikap terhadap Palestina, hingga identitas kultural dan religius. Memahami perbedaan ini penting agar masyarakat dunia tidak terjebak pada generalisasi yang membahayakan, seperti antisemitisme atau kebencian kolektif.

Sejarah dan Identitas: Zionis vs Diaspora

Warga Yahudi di Israel mayoritas menganut paham Zionisme, yakni gerakan nasionalis yang sejak akhir abad ke-19 bertujuan mendirikan dan mempertahankan negara Yahudi di tanah Palestina. Mereka tumbuh besar dengan narasi bahwa Israel adalah satu-satunya “tanah air” bagi bangsa Yahudi, tempat kembalinya eksistensi Yahudi setelah berabad-abad hidup di pengasingan (diaspora). Sekolah-sekolah di Israel menanamkan rasa kebangsaan yang kuat, dipadu dengan militerisme melalui wajib militer sejak usia muda.

BACA JUGA:  KKNT Literasi Unhas di Monro-monro Jeneponto Gelar Seminar Kesadaran Literasi

Berbeda dengan itu, warga Yahudi di negara lain — seperti Amerika Serikat, Prancis, Inggris, bahkan Indonesia — tumbuh dalam konteks sosial-politik yang berbeda. Mereka adalah bagian dari diaspora yang memilih berasimilasi, meski tetap memelihara identitas keagamaannya. Sebagian besar dari mereka menganggap diri sebagai warga negara tempat tinggalnya terlebih dahulu, bukan sebagai “orang Israel yang tertunda pulang.” Banyak dari mereka bahkan mengkritik keras ideologi Zionisme karena dianggap menodai nilai-nilai etika Yahudi yang menekankan kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap sesama manusia.

Sikap terhadap Palestina

Ini adalah perbedaan yang paling mencolok. Warga Yahudi di Israel cenderung memiliki pandangan eksklusif terhadap tanah Palestina. Bagi mereka, tanah itu dijanjikan Tuhan kepada nenek moyang mereka — suatu keyakinan religio-politik yang kerap dijadikan pembenaran atas pendudukan, blokade, dan tindakan kekerasan terhadap rakyat Palestina. Narasi bahwa “tidak ada yang namanya Palestina” masih kerap digaungkan di sebagian media dan institusi pendidikan di Israel. Akibatnya, empati terhadap penderitaan warga Palestina nyaris tak terdengar dari warga Yahudi di dalam negeri Israel, kecuali dari sebagian kecil kelompok sayap kiri seperti B’Tselem atau Breaking the Silence.