Catatan dari Pelatihan Produksi Konten Dakwah Digital Muhammadiyah (1)

Disrupsi Keagamaan

Disrupsi yang terjadi dalam bidang keagamaan, yaitu lembaga-lembaga keagamaan melemah. Pembelajaran agama berubah dari model komunal-sosial ke arah virtual-individual. Juga terjadi pergeseran otoritas keagamaan.
“Agama masuk dalam dunia ‘pasar bebas’ dan ‘super market’ yang menyediakan ragam informasi keagamaan,” ujar Fathurrahman.
Keberagamaan pun semakin terbuka. Hal ini menimbulkan fenomena freelance, cross-border, agnotisme dan “loose” (longgar); tidak mau terikat dengan faham keagamaan atau bahkan agama tertentu.
‘Terjadi pergeseran nilai kehidupan dan moralitas formal keagamaan kepada nilai-nilai kemanusiaan sekuler,” kata Fathurrahman.

Tantangan Agama di Era Disrupsi

Tantangan agama di era disrupsi, lanjutnya, antara lain jebakan algoritma kata kunci. Pencarian di internet dengan kata kunci tertentu akan menghasilkan referensi yang hanya relevan dengan kata kunci tersebut (Google pleases your perspectives).
“Akibatnya, bisa terjadi pemahaman yang sempit terhadap agama. Kiai yang mumpuni kalah tenar dibandingkan ustadz baru dari kalangan artis, dalam hal ini terjadi persaingan antara popularitas versus keilmuan,” kata Fathurrahman.
Juga terjadi pandangan eksklusivitas, konten dakwah online didominasi oleh kelompok yang cenderung eksklusif terhadap muslim lain yang tidak sepaham.
“Kemudian terjadi fenomena hijrah. Hijrah kemudian menjadi tren baru yang menyempit pada pakaian dan kelompok pengajian. Di sisi lain, terjadi banjir informasi (screen time). Derasnya arus informasi menyebabkan kita sulit menyaring mana yang sahih (valid) dan mana yang tidak,” tutur Fathurrahman.

BACA JUGA:  Anies Baswedan: Jangan Jadi Penonton Atas Tragedi Pembantaian Rakyat Palestina

*Implikasi Terhadap Spiritualitas-Religius*

Berbagai perubahan itu kemudian berimplikasi terhadap spiritualitas – religius, antara lain potensi penyimpangan paham keagamaan publik melalui media berbasis internet, terbentuknya ruang diskursif yang luas memungkinkan materi dakwah (konten keagamaan) mudah didebat, dipermainkan, bahkan dihina.
“Agama yang termediasi melalui internet tersebut bersifat menantang, membenturkan, memurnikan dan menguji prospek dan kemampuan agamawan,” kata Fathurrahman mengutip Hoover, 2016. (bersambung)