“Saya mempersatukan mereka dalam satu wadah agar meminimalisasi perbedaan pemahaman mereka yang bisa menimbulkan friksi,” jelas Iwan Azis tentang tujuan awal pembentukan ASPRI.
Diungkapkan bahwa sebenarnya dia pernah ditawari jadi perwakilan organisasi pengusaha reklame yang berskala nasional. Namun dia sama sekali tidak tertarik jadi pengurus organisasi yang bergerak di reklame outdoor itu.
Iwan Azis lantas membeberkan peta kepemilikan titik-titik reklame di Kota Makassar. Diungkapkan bahwa pemilik titik-titik reklame itu bukan hanya berlatar belakang pengusaha.
Pernah, ada beberapa titik reklame yang dimiliki oleh mantan wartawan, mantan komisioner, dan juga politisi. Cuma titik-,titik reklame tersebut sekarang ada yang sudah berpindah kepemilikan.
Potensi meraup cuan di bisnis reklame ini begitu besar. Tak heran bila banyak pemain. Ada titik reklame yang pemiliknya berasal dari Jakarta, Surabaya, Semarang dan kota lainnya. Mereka tertarik karena kota ini bertumbuh secara ekonomis sebagai kota bisnis dan perdagangan.
Saking banyaknya, dia menduga, Pemkot Makassar tidak mengetahui secara persis berapa jumlah titik-titik reklame tersebut. Padahal, reklame punya varian ukuran, mulai dari ukuran besar hingga kecil.
Kategori besar itu bila reklame berukuran 5×10 meter. Kategori sedang bila berukuran 4×6 meter. Sedangkan kategori kecil ukurannya 2×4 meter.
Sejauh ini, tambahnya, izin pendirian reklame melalui PTSP. Sementara di Bapenda Kota Makassar ada tim penertiban dan penataan reklame. Menurutnya, ini dualisme dalam pengelolaan dan penegakan aturan reklame.
“Mestinya itu dilakukan oleh PTSP sebagai leading sector perizinan,” sarannya.
Menyangkut penataan reklame ini, Iwan Azis juga memberi komentar, saat kami ngopi bareng sore itu. Dikatakan, Pemkot Makassar pernah membuat moratorium untuk melakukan penataan reklame yang dirasa sudah sangat menggangu. Namun moratorium ini tidak dijalankan. Terbukti tetap saja ada titik-titik reklame baru.
Hal itu bisa dibaca pada Peraturan Walikota Makassar Nomor 11 tahun 2022 tentang Moratorium Penyelenggara Reklame. Dalam Perwali itu antara lain memuat larangan membangun titik reklame baru.
Kenyataannya, moratorium itu tidak dipatuhi. Reklame-reklame tetap menjamur. Bahkan ada reklame yang terkesan memanipulasi tempat pemasangannya.
Iwan Azis memberi contoh. Misalnya, penempatan reklame yang menempel pada ruko tapi visualnya menjorok ke jalan. Seolah-olah reklame itu melayang. Padahal ini bukan saja tidak indah tapi membahayakan pengendara yang lewat di situ.