Lorong ini bukan sekadar ruang sempit dan gelap, tapi medan juang, ruang sosial tempat harapan ditanam dan masa depan dipupuk, meski dengan alat seadanya. Lorong ini memperlihatkan bagaimana cinta dan kepedulian yang ditanam terus-menerus, bisa menjadi kekuatan yang menggerakkan zaman, bukan lewat kebijakan makro, melainkan langkah mikro yang berdampak.
Lalu kita bertanya,
Dimana palu nurani para pemegang mandat rakyat? Apakah ia masih sanggup mengetuk meja dan membunyikan keadilan dalam kebijakan yang menyentuh akar?
Dimana pena birokrat yang mestinya menjadi perpanjangan aspirasi, bukan sebatas perpanjangan tangan investor dan proyek elitis?
Sudah saatnya kebijakan urban tidak hanya bicara tentang gedung tinggi dan smart city, tapi juga tentang lorong kecil yang menjadi pusat peradaban sosial. Bukankah kemajuan sejati sebuah kota terletak pada bagaimana ia memperlakukan yang terkecil dan paling lemah?
Lorong Daeng Jakking menunggu sentuhan keberpihakan, bukan sekedar kunjungan formalitas. Menunggu regulasi yang berpihak, bukan hanya pidato manis peresmian taman yang penuh papan nama tapi kosong program.
Karena, jika kebijakan tidak mampu mengetuk nurani, maka warga lorong akan terus mengetuk pintu langit dengan doa sebab di sana, mereka tahu, tidak ada disposisi dan tanda tangan yang harus ditunggu berbulan-bulan lamanya dengan seribu alasan yang terucap berucap
Makassar, 22 Mei 2025