Oleh : Al Faqir RR
NusantaraInsight, Makassar — Makassar kota yang dielu-elukan sebagai kota dunia, nyatanya menyimpan paradoks yang membekas dalam lorong-lorong sunyinya. Salah satunya adalah Lorong Daeng Jakking, lorong kecil di pinggir selatan kota yang menjadi saksi bisu antara retorika pembangunan dan realita pengabaian. Ketika malam tiba, lorong ini gelap seakan tidak berpenghuni, hanya remang cahaya yang mengintip dari sela-sela rumah warga menandakan hidup yang tetap berdenyut meski minim perhatian. Inilah gambaran konkret tentang kota yang membesar ke atas tapi lupa menengok ke bawah. Dari lorong ini juga, kita menyaksikan kontradiksi yang menggetarkan, dari tempat yang seolah mati, justru tumbuh kehidupan. Ada denyut, ada gerak, dan ada cinta yang tumbuh pelan-pelan namun pasti.
Dalam narasi pembangunan modern, seringkali ada yang tertinggal, lorong-lorong seperti ini menjadi “zona tidak terlihat” dalam radar kebijakan. Padahal, menurut teori keadilan sosial John Rawls, sebuah masyarakat adil justru mengutamakan mereka yang paling tertinggal karena ukuran keberhasilan bukan hanya dari pusat gemerlap kota, tapi dari sudut-sudut yang sering luput dari mata kamera dan kunjungan seremonial pejabat. Di mana keadilan distributif ketika lorong-lorong seperti Daeng Jakking dibiarkan gelap oleh lampu jalan yang tidak pernah dipasang dan gersang oleh nurani yang tidak pernah ditanam?
Namun, justru dari rahim keterabaian, dari lorong sunyi inilah menyembul secercah cahaya bukan dari tiang-tiang lampu jalan, melainkan dari nyala jiwa-jiwa yang masih percaya bahwa harapan bisa tumbuh di lorong yang gelap. Di sanalah, di tengah sempitnya lorong dan terbatasnya fasilitas, di tempat yang terpinggirkan, hadir satu entitas kecil bernama Komunitas Anak Pelangi (K-apel) sebuah gerakan kultural akar rumput yang menolak tunduk pada takdir keterbatasan. Ia tidak sebatas hadir membawa warna, tapi juga menanam harapan dan membangun masa depan dari reruntuhan kepedulian.
Di lorong kecil dan gelap ini pula lahir satu gerakan ruang belajar yaitu Kampus Lorong K-apel, sebuah ruang belajar tanpa tembok dan lantai marmer, tapi penuh cinta, dedikasi, dan semangat kolektif. Anak-anak, ibu-ibu, hingga lansia terlibat aktif dalam berbagai kegiatan yang dirancang bukan oleh lembaga elite, tapi oleh rasa tanggung jawab terhadap sesamanya.
Juga di sanalah anak-anak membaca dunia, ibu-ibu berbagi cerita, dan para lansia menganyam kenangan. Dari sana mereka belajar bukan hanya aksara, tapi juga solidaritas, keswadayaan, keberanian, dan daya hidup. Apa yang diabaikan oleh negara, dirawat oleh cinta warga. Apa yang tidak terlihat dalam program strategis pemerintah, justru tumbuh menjadi praktik ketahanan sosial berbasis komunitas. Inilah wujud konkret dari teori praksis Paulo Freire, bahwa pendidikan sejati bukanlah transfer ilmu dari atas ke bawah, tetapi lahir dari kesadaran dan pengalaman hidup rakyat sendiri.