News  

Kebersamaan, Nilai yang Tak Bisa Dibeli

NusantaraInsight, Tangsel — Ada hari-hari ketika hati tiba-tiba menjadi lebih peka dari biasanya. Seakan-akan Allah membukakan satu jendela kecil di dalam jiwa agar kita bisa melihat sesuatu yang selama ini kita lewati begitu saja. Hari itu, saya duduk sendirian sambil memikirkan satu hal sederhana, namun terasa sangat dalam yakni kebersamaan.

Lalu saya tersenyum sendiri. Betapa mahalnya sesuatu yang sering kita anggap biasa itu. Kalau dihitung dengan rupiah, mungkin angka nolnya akan memanjang sampai langit. Bahkan kalau seluruh lautan dijadikan tinta dan setiap ranting di bumi dijadikan pena, tetap takkan cukup untuk menuliskan nilainya. Saya teringat firman Allah SWT, “Kalau seluruh pohon di bumi dijadikan pena dan lautan menjadi tinta… niscaya habislah semua itu sebelum habis kalimat-kalimat Allah.” ~ QS. Luqman : 27

Mungkin begitu pula kebersamaan ia adalah salah satu “kalimat” yang tidak bisa selesai dijelaskan.

Kadang saya merasa setiap tempat menyimpan momen, setiap momen membawa hikmah, dan setiap hikmah adalah bentuk kebaikan yang dilimpahkan Tuhan pada kita. Ada kalanya hikmah itu datang dalam bentuk senyuman teman, genggaman tangan saudara, atau tawa ringan di antara obrolan sederhana yang tidak kita rencanakan namun justru menetap lama di dalam dada.

BACA JUGA:  GMNI Makassar Pertanyakan Keseriusan Pemprov Sulsel dalam Perbaikan Jalan Hertasning Makassar

Kebersamaan seperti itu sifatnya halus. Mirip hembusan angin yang tidak terlihat tapi terasa menggugurkan beban-beban jiwa. Orang-orang sufi sering berkata, “Ada sahabat yang jika engkau duduk di sampingnya, maka ketenangan turun seperti hujan.” Mungkin itulah yang dimaksud oleh Jalaluddin Rumi ketika ia menulis :
“Ada manusia yang kehadirannya adalah doa yang berjalan.”

Saya teringat kembali pada pelajaran bahasa Arab waktu dua semester belajar di Al-Birr Makassar. Tentang kata ganti orang dan saya sering memaknainya seperti kaidah isim dhamir dalam bahasa Arab yakni :
anta, anti, antuma, antunna, antum, ana, nahnu. Kata ganti yang tampak sederhana namun menyimpan filosofi. Ada “aku”, ada “kamu”, ada “kalian”, ada “kami”, dan ada “kita”. Dan entah kenapa, rasanya kebersamaan itu paling terasa dalam kata terakhir -nahnu- yaitu kita. Sebab saat kita berubah dari “aku” menjadi “kita”, hal kecil pun mendadak terasa melimpah. Seperti segelas teh yang terasa lebih hangat kalau diminum bersama.

Entah kenapa, saya selalu merasa ada filosofi yang indah di dalamnya. Bahwa hidup ini memang dimulai dari aku, satu titik kecil yang sendiri. Tapi jiwa manusia tidak diciptakan untuk berhenti pada ke-aku-an. Ia harus bergerak, melebar, menjadi kamu, kalian, lalu sampai ke puncaknya yakni kita.

br