Orientasi dan Integritas Perguruan Tinggi Dipersoalkan

NusantaraInsight, Makassar — Sebagai rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional, Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan kembali menggelar agenda rutin bulanannya bertajuk “Refleksi Kritis atas Sistem Pendidikan Nasional: Mengulik Orientasi dan Integritas Perguruan Tinggi saat ini.” Ma’REFAT Informal Meeting (REFORMING) ke-22 ini dilaksanakan pada Minggu kemarin, 25 Mei 2025, bertempat di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Makassar.

Acara tersebut menghadirkan tiga akademisi sebagai pemantik, yakni: Selvy Anggriani Syarif, SE., M.Si Dosen IAIN Kota Parepare. Reza Asra, S.TP., M.P. Dosen serta Dekan Fakultas Sains & Teknologi Universitas Muhammadiyah Sidrap serta Ahmad Firman Ashari, SP., M.Si yang merupakan Dosen Universitas Teknologi Sulawesi (UTS) sekaligus juga sebagai Koordinator Kelompok Pengkajian & Diskursus “KOMITMEN” (Kolaborasi Multi Intelegensia Merawat Etik dan Nilai) Mahasiswa Pascasarjana UNHAS.

Mengawali penyampaiannya, Reza Asra menyajikan sebuah artikel yang memuat hasil survei di salah satu kampus ternama di Inggris, yang ingin melihat tingkat penilaian dan kepuasan terhadap perguruan tinggi. Hasilnya mengejutkan, karena hanya 10% menyatakan puas, selebihnya tidak merasa puas terhadap kinerja manajemen perguruan tinggi. Beberapa alasan yang terungkap, di antaranya: penghambaan kepada mahadata, tata kelola, beban kerja berlebih, tugas yang selalu berubah, pengerjaan proyek diluar tugas utama, akademisi yang dibungkam serta psikologi akademi, ungkap Reza.

BACA JUGA:  KKN UIN Bersinergi: Festival Anak Sholeh dan Semarak Kemerdekaan

Apa yang terjadi di luar negeri terkait kinerja perguruan tinggi, ternyata tak berbeda jauh dengan konteks Indonesia saat ini. Reza memandang bahwa perguruan tinggi saat ini sebagai kompleks mega industri yang beroperasi dan berkompetisi layaknya perusahaan dan bergantung pada pasar.

Adapun Firman Ashari, membuka perspektifnya dengan menyoroti hilangnya nilai-nilai luhur dalam dunia kampus. Ia menyebut banyak perguruan tinggi saat ini lebih mementingkan aspek administratif dibandingkan integritas akademik. Dampaknya? Terjadilah plagiarisme, joki akademik, manipulasi nilai, hingga normalisasi budaya takut.

“Kalau pendidikan tinggi kehilangan arah, lalu untuk siapa kita belajar? Ini bukan sekadar soal data, tapi soal tanggung jawab moral,” ujarnya. Firman juga menegaskan perlunya perbaikan orientasi ilmu, reformasi sistem insentif, dan penguatan akses keadilan sosial sebagai solusi konkret.

Sementara itu, Akademisi Perempuan dari kota kelahiran Prof Habibie, Selvy Anggriani, memaparkan bahwa pendidikan hari ini terlalu tunduk pada kepentingan neoliberalisme. Mahasiswa tidak lagi dipacu untuk berpikir kritis, melainkan diarahkan memenuhi standar pasar dan kelulusan cepat. Kampus harusnya melahirkan dan menciptakan orang-orang kritis namun faktanya tidak lagi demikian, ujar Selvy.