Kartini Membawa Secarik Niat, Gengsi yang Disimpan

NusantaraInsight, Makassar — Di tengah hiruk pikuk kota Makassar yang kian digital, ketika pilihan transportasi daring merajalela, dan gaya hidup praktis menjadi norma anak muda, seorang mahasiswi semester 6 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) justru memilih jalan yang berbeda. Namanya Kartini, berasal dari kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Ia tidak hanya membawa nama pahlawan emansipasi itu, tetapi juga mewarisi semangatnya dalam bentuk yang lebih sunyi, lebih sederhana, dan lebih membumi.

Jumat, 9 Mei 2025, Kartini menumpang pete-pete (angkutan kota) yang kini nyaris punah di kota Makassar menuju Jl. Dg Tata III Lorong Daeng Jakking, Kelurahan Parang Tambung Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Di sana, ada  Kampus Lorong K-Apel, sebuah ruang belajar alternatif yang dikelola oleh Komunitas Anak Pelangi (K-Apel) berkolaborasi dengan Aruna Ikatuo Indonesia.

Jarak yang jauh, rute yang membingungkan, dan kelelahan fisik tidak membuat langkahnya surut. Ia tinggalkan kenyamanan dan gengsi anak muda demi satu tujuan yaitu berbagi ilmu kepada anak-anak lorong.

BACA JUGA:  KKJA Adakan Pengajian 10 Muharram

Kartini tahu, naik pete-pete bukan sekedar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan batin. Di era ketika gengsi bisa dibeli dengan satu klik aplikasi,

Kartini memilih menyimpan gengsinya dan menyalakan semangatnya. Ia membiarkan debu jalanan menempel di bajunya, bukan karena tidak punya pilihan, tapi karena ia memilih untuk dekat dengan kehidupan nyata, dengan denyut nadi kota yang terlupakan oleh sebagian orang.

Saat ditanya tentang pengalamannya, naik pete-pete dan mengajar di Kampus Lorong K-Apel Kartini berkata,
_”Mengajar di Kampus Lorong K-Apel menjadi pengalaman yang sangat berkesan bagiku. Impianku sejak dulu adalah membagikan ilmu yang telah kutempuh selama sekolah dan kuliah.”_

Perjalanannya bukan tanpa rasa takut ia sempat khawatir tersesat. Namun semua ketegangan itu terbayar saat ia tiba dan disambut dengan tawa dan antusiasme anak-anak. Di Kampus Lorong K-Apel sebuah ruang terbuka belajar dengan fasilitas serba terbatas, Kartini mengajarkan aksara Lontarak, aksara kuno Bugis-Makassar, yang perlahan memudar dari ingatan generasi muda. Dari perkenalan huruf hingga permainan tebak, suasana belajar menjadi hidup dan penuh warna.

BACA JUGA:  Sahabat K-Apel Berbagi Alquran Untuk Lansia ke MT Ummu Salamah

Yang menarik, justru Kartini merasa diajarkan oleh anak-anak itu tentang semangat, ketulusan, dan rasa syukur. Ia melihat bahwa dalam keterbatasan, ada kemewahan hati. Dalam lorong sempit, terbentang jalan luas menuju harapan.

Kisah Kartini bukan hanya tentang seorang mahasiswi yang rela naik pete-pete untuk mengajar, tetapi tentang seseorang yang dengan sadar menantang arus zaman demi nilai-nilai yang diyakininya. Bahwa pendidikan bukan soal tempat megah, tetapi ruang di mana hati bertemu hati. Bahwa menjadi muda tak harus selalu identik dengan gaya, tapi bisa menjadi simbol daya.