Cerita Tentang Buku

Pada era itu, saya kagum pada sejumlah teman aktivis yang ke mana-mana selalu membawa buku. Abdul Rasyid Idris dan M Ghufran H Kordi K, adalah beberapa di antaranya. Para aktivis lintas isu masih kerap bertemu dalam berbagai forum, di pengujung Orde Baru hingga awal Reformasi. Kami sering dipertemukan dalam diskusi-diskusi yang membahas isu lingkungan, perempuan, anak, konsumen, HIV Aids, HAM, kemerdekaan pers, demokrasi, dan topik-topik lain yang hangat kala itu.

Pada kesempatan itu, saya melihat para aktivis ini, datang dalam pertemuan dengan memegang buku di tangan, atau dibawa dalam tas. Keren melihatnya. Walau mereka tidak bermaksud pamer dan sekadar gagah-gagahan. Namun dari tampilan itu, kita melihat dunia aktivis yang tumbuh dan berkembang karena sikap kritis, dan punya basis referensi dan argumentasi.

Tahun 2002, saya coba mandiri dengan mendirikan LSM sendiri: LISaN, akronim dari Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak. Modal saya mendirikan lembaga ini dari hasil warisan penjualan rumah orangtua di Kassi-Kassi. Dari hasil dapat warisan itu, sebagian digunakan untuk mengontrak rumah di Perumahan Tirta Mas, dekat Bonto Duri 6, sebagian lainnya digunakan untuk membiayai kegiatan pelatihan anak-anak dampingan Plan Indonesia Program Unit Takalar.

BACA JUGA:  KKLT Bakal Gelar Pelantikan Pengurus dan Rapat Kerja 4 Agustus 2024

Saya mesti keluarkan biaya lebih dahulu, karena dananya belum cair. Padahal ada dana awal yang mesti dipakai untuk memenuhi keperluan pelatihan. Itu memang atas kesepakatan saya dengan staf Plan, yang jadi penanggung jawab pelaksana kegiatan.

Punya kantor sendiri, berarti mesti punya perpustakaan pendukung. Maka saya pun menjadikan buku-buku koleksi pribadi menjadi milik lembaga atau lebih tepatnya bisa dibaca semua orang. Ada orang khusus yang mengurus perpustakaan mini ini, yang juga jadi staf administrasi kantor. Tak ada budget yang lembaga sediakan untuk membeli buku-buku. Buku-buku koleksi LISaN, saya beli dari kocek sendiri.

Kalau ada kegiatan sebagai narasumber, biasanya ada honorarium yang diberikan. Sebagian uangnya saya belikan buku. Saya singgah di Gramedia, Mal Ratu Indah, untuk membeli buku, setelah itu baru ke Hero supermarket, membeli keperluan rumah tangga.

Kadang ada perasaan tidak enak terhadap istri. Maklum, masih tinggal di rumah kontrakan, jadi perlu pengaturan penghasilan yang ketat. Belum lagi, ada tuntutan membeli keperluan anak yang masih kecil-kecil. Namun karena dorongan membeli buku begitu kuat, akhirnya tetap tak terhindarkan keinginan membeli buku-buku ini.

BACA JUGA:  Anak Asuh K-Apel Raih Juara di UIT

Saya punya cara agar tidak terlihat membawa pulang buku baru, setiap kali pulang belanja, saat masih ngontrak di sana. Setiap kali saya pulang dari mal, saya akan membawa belanjaan keperluan rumah melalui pintu depan, yang terhubung kebruang tamu. Sedangkan buku yang saya beli, saya bawa melalui pintu samping, yang merupakan kantor LISaN. Sebenarnya, istri saya tidak melarang membeli buku. Saya saja yang merasa tidak enak hati. Ternyata, istri saya juga pembaca buku, khusus novel dan biografi. Kami malah sering jadikan toko buku sebagai tempat rekreasi bersama anak-anak.

Saat pindah ke Jalan Emmy Saelan Lorong 2, yang juga menjadi alamat kantor LISaN selanjutnya, kebiasaan membeli buku berlanjut. Bahkan saat itu, saya punya patokan tersendiri. Bila saya menerima honor sebagai pembicara sebesar Rp250 ribu maka mesti ada satu buku saya beli. Jadi jangan heran, jika kemudian buku-buku saya terus bertambah memenuhi rak-rak buku kami.