Orderan spanduk itu bisa dari Senat Fakultas Hukum atau dari Fakultas Hukum. Nyaris semua spanduk saya kerjakan, selama rentang kuliah di kampus merah, Tamalanrea. Mulai dari spanduk seminar, bakti sosial, maupun untuk keperluan studium generale.
Ada kejadian, saya harus kembali ke toko buku Arena Ilmu, setelah tiba di rumah. Mengapa? Itu karena buku yang saya beli, ternyata ada yang halamannya kurang atau tertukar. Beruntung, pemilik toko mengizinkan buku itu ditukar dengan buku yang berjudul sama. Supaya tidak mengalami nasib serupa, sejak saat itu, setiap kali membeli buku, saya memeriksa halamannya satu demi satu.
Kedekatan dengan buku berlanjut saat bekerja sebagai broadcaster di Radio Venus AM, tahun 1994. Ada seorang fans yang memberikan saya buku sebagai kenang-kenangan. Buku “Sejarah Hidup Muhammad” karya Haekal. Buku menjadi tanda pencapaian saya, ketika menjadi peserta terbaik Pelatihan Jurnalistik Radio I, tahun 1998, yang diadakan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).
Saya mendapat hadiah buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo”. Buku itu ditandatangani semua trainer, yang merupakan dedengkotnya radio di Indonesia. Salah satu di antaranya, Errol Jonathans, dari Radio Suara Surabaya.
Keranjingan membeli buku terjadi selama periode saya di dunia aktivis. Saat bergabung di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, saya kerap membeli buku-buku untuk memperkaya pemahaman saya tentang pentingnya perlindungan anak.
Saya membaca buku-buku tema kesehatan, pendidikan, psikologi, hak asasi manusia, hukum dan tema-tema lain yang dibutuhkan untuk membangun argumentasi pentingnya pemenuhan hak-hak anak. Saya membaca pengalaman-pengalaman lapangan para aktivis dan LSM yang bekerja dengan dan bersama anak-anak.
Setiap kali berkesempatan ke Jawa, bila ada kegiatan pelatihan, saya tidak langsung pulang ke Makassar. Saya biasanya bertandang ke kantor-kantor LSM untuk merasakan atmosfer ‘kehidupan’ dunia pergerakan. Saya ke Jakarta, Bogor, Solo, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, bahkan ke Jember. Pada kesempatan itu, saya menikmati perjalanan menggunakan kereta api, sesuatu yang tidak saya dapatkan di Makassar.
Bila berada di kantor LSM tersebut, saya dibiarkan melihat-lihat buku. Juga dibolehkan mengambil buku-buku yang bukan koleksi lembaga. Beberapa buku bahkan saya dapatkan dari penulisnya langsung Menurut mereka, bila saya diberi buku, pasti dibaca, dan akan ditulis lagi.
Di samping buku-buku yang menggambarkan dunia aktivisme, saya juga mulai tertarik pada buku-buku yang menggambarkan tentang masa depan. Buku-buku karya Alvin Toffler, seperti Future Shock dan The Third Wave, dalam versi bahasa Indonesia, saya miliki. Juga buku-buku yang kemudian dinyatakan terlarang, saya baca, di antaranya Kapitalisme Semu Asia Tenggara karya Yoshihara Kunio, yang mengupas perkoncoan penguasa dan pengusaha di sejumlah negara Asean.