Pengacara terdakwa mengemukakan sebagaimana diterangkan saksi ahli dokter forensik dalam persidangan lalu bahwa penyebab kematian korban adalah kegagalan sirkulasi peredaran darah ke jantung akibat penyumbatan lemak.
Yodi Kristianto pun menegaskan bahwa kesimpulan yang demikian dinilainya terlalu mengada-ngada dan sebuah peristiwa pidana terdiri dari rangkaian-rangkaian kegiatan sebab akibat yang tidak dapat dilihat sepenggal-sepenggal.
“Bahkan dengan penjelasan mengenai hasil autopsi yang demikian, ahli forensik dari Biddokes Polda mengatakan bahwa kegiatan seharusnya dihentikan ketika ada yang drop, bukan malah memberi hukuman dengan dalih memperlambat yang lainnya,” sergah Yodi Kristianto.
“Saya menangani kasus ini bukan secara tiba-tiba, kami benar-benar mendalami mulai dari penyebab hingga waktu kematian, hasil visum dimana tubuh korban terdapat luka dan lebam, kemudian hasil autopsi yang diambil setelah tubuh korban sudah dua minggu dimakamkan, dan juga telah disuntik formalin. Karenanya, bukan hanya satu faktor yang mempengaruhi hasil autopsi itu. Ada ajaran atau teori kausalitas dalam hukum pidana, yakni ada sebab dan ada akibat, demikian pula yang terjadi pada kasus kematian Virendy,” terangnya.
“Riwayat kesehatan Virendy semasa hidupnya sama sekali tidak ada indikasi mengidap penyakit jantung atau penyakit kronik lainnya, bahkan almarhum terhitung aktif dalam kegiatan Pramuka, Palang Merah, olahraga Karate, dan bahkan jelajah alam sejak masih di bangku sekolah dasar dan menengah,” tegas Yodi Kristianto menutup pernyataannya soal kemungkinan Virendy menyembunyikan penyakit yang dideritanya ketika mengikuti kegiatan Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas. (*)