Takdir mempertemukan aku dengan seorang gadis berjilbab. Kala itu, Februari 1988. Sebelumnya, aku tidak pernah melihatnya. Dia adalah Adindaku yang kini telah menjadi istri pendamping hidupku dan ibu dari putra-putriku. Saat itu, aku dipertemukan dalam sebuah RAKER yang diselenggarakan oleh KMA-PBS IKIP Ujung Pandang.
Entah mengapa, tiba-tiba pandanganku, saat itu, tertuju padanya dan ketika aku memandangnya, secara spontan hatiku tergetar dan denyut jantungku berdebar. Kutanya pada diriku, “Apakah ini yang dinamakan cinta?” Kuyakin bahwa Allah menggerakkan pandangan mataku agar tertuju padanya.
Sungguh, di kala aku memandangnya, kulihat sorotan matanya yang tajam dan senyumnya yang menawan, membuat hatiku semakin bergetar. Sejak saat itulah, aku selalu merindukannya dan membayangkan senyumnya yang manis. Meskipun aku merasakan getaran cinta, tapi aku tak berani mendekatinya. Dari tingkah, gerak, dan tutur sapanya yang kudengar, membuatku semakin yakin bahwa dialah wanita idamanku yang selama ini kucari dan kucari dalam perjalanan hidupku.
Selama pertemuanku, saat itu, aku belum berani menyapanya, apatah lagi mengutarakan isi hatiku yang sesungguhnya. Kuyakin dia wanita terhormat yang tak gampang menerima rayuan. Apa yang kurasakan hanya kusimpan dalam hati. Aku belum punya keberanian untuk mengutarakan isi hatiku.
Akhirnya, perpisahan kala itu membuat aku semakin penasaran dan selalu merindukannya. Entah kapan lagi aku bisa menatap sorotan matanya dan senyumnya yang selalu menghantuiku? Aku hanya berdoa, semoga aku bertemu kembali.
Beberapa bulan kemudian, doaku diijabah oleh Allah Swt. Meskipun aku sudah sarjana, tapi masih tetap diundang sebagai panitia dalam kegiatan Pameran Buku Nasional yang diselenggarakan oleh KMA-PBS IKIP Ujung Pandang. Alhamdulillah, aku dapat dipertemukan kembali dengan gadis berjilbab itu, sehingga dapat menatap sorotan matanya dan senyumnya yang khas.
Selama pameran berlangsung, hatiku selalu bahagia walau aku belum dapat menyampaikan isi hatiku. Yang kupinta, semoga apa yang kurasakan dapat juga menembus relung hatinya yang paling dalam. Dia wanita yang tak banyak bicara, apatah lagi bertingkah. Dia tidak seperti wanita kebanyakan. Sifat dan karakter itulah yang selalu kudamba dari seorang gadis, dan semuanya terpancar pada teman Supersemarku ini.
Sejak itulah, aku mulai berdoa, kiranya Allah menjodohkan aku dengan gadis yang telah kuimpikan. Pada malam penutupan Pameran Buku, kuberanikan diri menyapa dan menyampaikan alamatku. Dia pun menjawab dengan lembut disertai senyum yang menawan.