Tak terasa, 45 menit berlalu, rombongan tiba di Muntea Highland (1200 mdpl). Iringan memasuki kawasan Muntea Highland yang saat itu dipenuhi kabut, seperti kekhawatiran teman satu mobil tadi.
Kawasan Muntea yang memang terbuka, memang sangat cocok untuk area perkemahan dengan menyajikan pemandangan laksana negeri di atas awan Lolai (Toraja Utara).
Spot-spot foto yang Instagramable cukup banyak. Segala view dapat di jadikan angle untuk mengabadikan momen kehadiran kita di sana dan tentu dapat mengisi beranda-beranda media sosial kita.
Sekilas dari nalar aspek rasio penulis memperkirakan luas Mountea itu lebih kurang 20 X 30 meter persegi dan sebagian sisinya itu berundak-undak hingga ke bawah. Di pintu masuk ada gerbang bertuliskan Welcome Muntea Highland, di sisi kanan gerbang ada dua toilet yang tampaknya baru dibangun, sedangkan sisi kirinya ada rumah kaca untuk pembibitan. Gasebo-gasebo di beberapa sisi yang tadinya ada, kini sepertinya sengaja dihilangkan untuk membuat suasana alami dataran tinggi semakin kuat.
Kepala ANRI Imam Gunarto beserta ibu, Kabiro Umum ANRI Sarip Hidayat, S.Kom.,M.Si, Kepala Pusat Data dan Informasi Drs Hilman Rosmana., M.Hum dan Teguh Septiyadi cukup takjub melihat potensi pariwisata kabupaten Bantaeng yang sebenarnya tak kalah dengan daerah wisata lain di Indonesia.
Mereka sesekali tampak melakukan swafoto mengabadikan momen-momen perjalanannya. Tentu jaket yang tadinya cukup adem di dalam koper dikeluarkan untuk menghangatkan tubuh yang dingin diterpa angin Muntea yang juga membawa butiran air.
Penjabat Bupati Bantaeng Andi Abubakar beserta ibu, Ketua Asosiasi Arsiparis Indonesia (AAI) Dr H Basri selaku tuan rumah mendengarkan masukan dari Kepala ANRI terkait wisata dan tentu arsip wisata yang dapat menjaga dan menjadi memori daerah itu sendiri.
Tak cukup lama berdiam di Muntea Highland, karena cuaca saat itu tak cukup bersahabat. Rinai hujan seakan memberikan ucapan selamat datang turun dari langit Muntea, walaupun tak keras hanya berupa butiran-butiran air yang turun, namun cukup membuat kita untuk segera beranjak.
Apalagi saat itu, kabut juga tak mau diajak kompromi, ia semakin lama semakin menebal laksana tumpukan awan yang berlapis-lapis. Tentu ini menghalangi pandangan untuk melihat kota Bantaeng dan daerah perbatasan yang begitu indah jika dilihat dari atas.
Dingin yang juga mulai menyerang tulang membawa kita untuk menuju spot wisata kedua. Rumah Kentang menjadi tempat peristirahatan pengusir dingin, segelas kopi dengan suguhan kentang rebus dan parutan kelapa dengan cocolan sambal matah ditambah lauk teri kering dengan sedikit kacang menjadi santapan berkelas sore itu.