Postur RAPBN 2026

Di tengah tantangan harga komoditas dan perekonomian global, target Pendapatan Negara sebesar Rp3.147,7 triliun yang berasal dari:

•Penerimaan Perpajakan Rp2.692,0 triliun
•Penerimaaan Negara Bukan Pajak Rp455 triliun

Sementara itu, Defisit ditetapkan terkendali sebesar Rp 2,48% PDB (setara Rp638,8 trilun). Dan untuk mendukung program prioritas, Pembiayaan Investasi ditargetkan sebesar Rp203,1 triliun.

Penutup

Ada sejumlah hal menarik yang perlu cermati bersama dalam Nota Keuangan RAPBN tersebut, antara lain, pemerintah memilih mengambil target moderat dan realistis pada angka-angka di RAPBN 2026. Hal itu tampak dari sejumlah angka indikator asumsi ekonomi makro tahun 2026.

Usulan atas angka angka ekonomi makro ini menunjukkan pemerintah memilih jalan moderat, atau titik tengah dari angka batas bawah dan atas atas kesepakatan antara Banggar DPR dengan pemerintah pada kesepakatan Kem PPKF.

“Pilihan angka moderat ini menunjukkan pemerintah realistis dalam menghitung tantangan tahun 2026 yang tidak mudah, akibat dampak pemberlakuan tarif dari Presiden Trump, efek rambatan konflik gepolitik, menurunnya daya beli rumah tangga, serta banyaknya lay off pada sektor manufaktur,” demikian analisis Said Abdullah, Ketua Banggar DPR RI dalam keterangan tertulisnya (sebagaimana dikutif detik.com 15/08/2025).

BACA JUGA:  Dibawah Pimpinan Victor D. Batara Akses Jalan Makale - Rano Kini Bisa Diakses 40 Menit Via PT Malea

Terkait rancangan postur APBN 2026, menurut Said, target pendapatan negara sebesar Rp 3.147,7 triliun, pemerintah lebih memilih batas atas dari pembicaraan awal pada Kem PPKF, sementara untuk belanja negara, sebesar Rp 3.786,5 triliun menunjukkan pilihan yang berbeda, yakni mengambil angka moderat dari batas bawah dan atas. Dengan pilihan ini berkonsekuensi prosentase defisit RAPBN 2026 lebih rendah dari tahun 2025, yakni sebesar 2,48% setara Rp. 638,8 triliun.

Ada empat saran yang disodorkan Ketua Banggar DPR RI ini, dalam hal mendukung tingginya target pendapatan negara yang dipilih oleh pemerintah. Yaitu; (1) pemerintah lebih fokus mengejar wajib pajak nakal yang melakukan penghindaran pajak, (2) memanfaatkan peluang dari perpajakan global paska kesepakatan di OECD, terutama atas beroperasinya berbagai layanan perusahaan multinasional pada lintas negara, (3) optimalisasi pajak karbon, upaya ini sekaligus mendorong transformasi perekonomian nasional lebih ramah lingkungan, (4) meningkatkan investasi pada sektor sumber daya alam, agar penerimaan negara dari bagi hasil sektor SDA semakin membesar.

BACA JUGA:  Pajak Oh Pajak

Sementara, kecenderungan makin memusatnya anggaran negara ke pusat perlu pertimbangkan ulang oleh pemerintah, dan di saat yang sama kewenangan pemda juga semakin mengecil pasca Undang Undang Cipta Kerja. Situasi ini membuat fiskal daerah akan semakin melemah, sehingga inisiatif pembangunan di daerah hanya akan bertumpu pada anggaran pusat.

br
br