Tuhan Tak Sedang Iseng: Dari Majalah Dinding ke Penyair Facebook

Status galau dan curahan hati teman-teman bisa jadi inspirasi. Sekarang, saya tak lagi kesulitan mencari pulpen dan kertas untuk mencatat sebuah ide tulisan tentang anak, masalah sosial, isu politik, religius, maupun bertema cinta.

Selain menggunakan laptop atau notebook, kini saya dengan mudah bisa menuangkan tulisan di telepon genggam Blackberry. Saya bisa menulis puisi kapan saja, di mana saja. Mirip promosi sebuah iklan minuman ringan bersoda.

Itulah mengapa, puisi-puisi ini menerakan nama kota dan tempat-tempat di mana puisi tersebut dilahirkan. Penyebutan lokasi-lokasi itu tidak hanya menjadi semacam cindera mata tapi juga jadi penanda jejak sejarah saya, pernah berada di suatu tempat.

Termasuk satu-dua puisi yang diciptakan di Ambon sengaja disertakan dalam buku kumpulan puisi “TUHAN Tak Sedang Iseng” ini. Judul yang diambil dari salah satu puisi dalam buku ini.

Puisi itu dibuat saat saya tengah menunggu seorang teman, di warung kopi, sembari membuka situs jejaring sosial, dan tiba-tiba tersentak menyaksikan kecelakaan lalu lintas, saat pengemudinya hendak ke acara pesta perkawinan.

BACA JUGA:  Mantan Bupati Toraja Utara Meninggal, VDB: Sangat Kehilangan Sosok yang Baik

Semua rangkaian peristiwa dalam detak waktu yang sama itu menyentakkan kesadaran penulis bahwa TUHAN tidak sedang iseng menghadirkan potongan-potongan kejadian itu.

Tuhan memang tak bermaksud iseng atau tengah bercanda ketika IA mencipta alam semesta, pun pada setiap peristiwa yang dialami dan dilalui umat-NYA.

Terdapat mutiara pesan dan berlaksa hikmah di balik kelahiran hingga kematian seorang anak manusia. Pesan dan tanda-tanda yang tak selalu terbaca mata meski terbukti memberi kenyamanan hidup.

Kita malah memilih sibuk merayakan waktu dengan cara kita. Cara yang mungkin hampa makna, abai pada muasal hakikat kehadiran kita, atau sebaliknya, penuh wujud rasa syukur.

Menulis dan mencipta puisi bagian dari cara saya merawat keindahan rasa syukur itu. Dengan puisi, saya bukan hanya berkata-kata, bermain kata-kata, tapi lebih dari itu menolak, melawan, merenung, dan melanglang-buanakan pikiran serta impian-impian.

Kini, dengan kemudahan teknologi komunikasi informasi yang sedemikian membantu, membuat puisi-puisi yang baru selesai ditulis langsung bisa dibaca, dinikmati, dan diberi komentar.

BACA JUGA:  Heboh Berita Penundaan Pembayaran Honor Pengelola Perpustakaan, ini Klarifikasi Camat Tamalate

Komentar dan tanda “like” yang diberikan setiap penulis meng-upload puisi terbaru seakan memberi sugesti.

Bagi saya, itu semua merupakan respons positif yang memberi daya dorong bagi munculnya karya-karya baru.

Saya kemudian diam-diam secara narsis mengklaim diri sebagai “penyair Facebook” meski belakangan puisi-puisi saya juga mulai dimuat di Harian Fajar, Makassar.