Seandainya Lakkang Jadi Laboratorium Wisata Berkelanjutan (1)

Lakkang
Naik pincara ke Lakkang

Sesekali, saya mesti menepikan sepeda motor, bila dari jauh terlihat ada kendaraan yang bakal lewat. Lebar jalan, sangat pas-pasan, jadi saya harus tetap awas. Sebab, bisa-bisa sepeda motor saya tergelincir masuk ke tambak. Saking khawatirnya, sesekali istri saya lebih memilih berjalan kaki daripada dibonceng. Apalagi pada ruas jalan rusak yang cukup panjang, di mana paving block-nya amblas. Kondisi ini terjadi sekira 200-an meter memasuki kampung Lakkang, ketika melewati hutan nipah, yang berada di kedua sisinya. Tampak ada jalur jalan tanah yang bagai digaris memanjang, di sebelah jalan paving block itu. Saya mendapat informasi, jalur jalan paving block ini baru setahun diadakan.

Saat saya menepi untuk memberi jalan pengendara dari depan, saya bertemu Haeruddin Daeng Bunga, seorang pedagang keliling. Pedagang asal Limbung ini rutin masuk ke Lakkang untuk berjualan sayur dan keperluan lainnya, setiap hari mulai pukul 10.00 hingga siang hari, kecuali hari Jumat dan Minggu. Kami juga bertemu pedagang tempe dan tahu, yang setelah jualannya laku, dia membeli ayam kampung milik warga.

BACA JUGA:  Pelantikan Kepala Daerah Resmi Ditunda

Di jalan, secara terpisah, kami juga bertemu dengan seorang murid Sekolah Dasar (SD) dan seorang siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Keduanya berjalan kaki pulang dari sekolah, tanpa perlu menunggu jemputan, seperti kebanyakan anak-anak sekolah. Murid SMP itu bernama Amira, kelas VII, bersekolah di SMP Negeri 44 Satu Atap Lakkang. Saat saya bertanya, mau pulang ke mana, mereka mengaku tinggalnya di tambak. Saya lalu menoleh, ke arah rumah nun jauh di sana, yang saya perkirakan sebagai rumah yang dia maksud. (Bersambung)