Oleh: Dahlan Abubakar
NusantaraInsight, Makassar — Usai memperbincangkan buku Fiam Mustamin berjudul “Misteri Jalan Setapak dan Menanjak” di Roemah Masagena Jl. Pengayoman 34, Selasa (15/4/2025) siang, beberapa peserta tidak langsung meninggalkan tempat kegiatan. Peserta ini terbagi dua kelompok. Di bagian dalam “Roemah Masagena” masih ada saya, Yudistira Sukatanya, Rusdin Tompo, Fadly Andi Nazif, Muhammad Amir Jaya, dan Arwan D. Awing. Di bagian luar, terdapat “komisi luar ruangan” – yang saya lihat dari dalam ada Syahrir Patakaki, M.Asmin Amin, dan beberapa lainnya yang terlindung dari pandangan saya dari dalam ruangan.
Topik diskusi kami yang tergabung di “komisi dalam ruangan” secara deduktif disebut “Knowing Every Particular Object” (KEPO) –ingin mengetahui segala sesuatu. Namun secara induktif (khusus) menyoal kasus ijazah Joko Widodo. Yang pertama membuka “ke-KEPO-an” ini adalah Fadly. Dia lebih menyoal bahwa dalam kasus ini akan terjadi dan menimbulkan kausalitas, sebab-akibat. Jika ijazah Joko Widodo yang oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) disebut hilang, apakah itu mungkin terjadi. Sebab yang namanya ijazah itu –- apalagi ijazah S-1 – biasanya dijaga dengan baik.
“Kita juga akan melaminating dan menjaganya,” kata Fadly, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar yang berlatar belakang Doktor Ilmu Hukum.
Persoalannya, imbuh Fadly menampilkan akibatnya, kalau saja ijazah tersebut benar adanya tidak orisinal, apakah segala kebijakan pemegangnya selama menjabat akan batal demi hukum? Ini persoalan yang membuat masalah ijazah ini kian karut marut.
Fadly juga mengomentari Program Studi yang dipilih yang bersangkutan saat menyelesaikan Pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM adalah “Pertukangan Kayu”.
“Mana ada jurusan ‘Pertukangan Kayu’ di Fakultas Kehutanan?,” tambah Fadly menimpali komentar salah seorang “ordal” (orang dalam) fakultas tempat yang bersangkutan menyelesaikan pendidikannya.
Ke-KEPO-an peserta diskusi kecil ini berlari “kiri-kanan”. Ada yang menuding kasus “Mulyono” ini, harus ditimpakan kepada partai pengusungnya ketika mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta dan menjadi Presiden RI dua periode. Berkaitan dengan keprihatinan para tokoh akan kasus yang menimpa “Mulyono” itu, Rusdin Tompo juga mengungkit, kisah air mata Goenawan Mohamad yang tercurah ketika tampil di “Rosi” Rosiana Silalahi, Kompas TV beberapa waktu yang lalu.
“Keharuan seorang Goenawan Mohammad bukan ‘kaleng-kaleng’ karena dia pastilah sering “kongkow-kongkow” dengan “Mulyono,” imbuh Rusdin Tompo yang juga Koordinator Satupena Sulawesi Selatan itu.