Kaum Muda Jepang Tak Berminat, Festival Dengan Jejak Sejarah 1000 Tahun Ditiadakan

NusantaraInsight, Jepang — Festival Somin-sai dengan jejak sejarah lebih dari 1.000 tahun akhirnya diadakan. Ini ditandai dengan acara Somin-Sai untuk terakhir kalinya di sebuah kuil Buddha di Prefektur Iwate, timur laut Jepang, pada hari Sabtu (17/2) sebagai tanda perpisahan.

Acara tahunan ini sulit untuk dilanjutkan akibat kurangnya peserta. Penduduk setempat yang biasa mengikuti festival ini telah semakin tua dan para kaum muda sudah tidak berminat

Adalah Pemimpin Kuil Kokuseki di Kota Oshu tempat Festival Somin-Sai biasa diadakan yang memutuskan mengakhiri salah satu festival populer ini.

Kepala Pendeta Kuil Kokuseki-ji, Daigo Fujinami (41) menyebut bahwa Saomin-sai terpaksa diakhiri selamanya, karena penduduk sekitar kuil dan pengunjung festival semakin tua, seperti dikutip dari NHK Jepang, Minggu (25/2/2024).

Fujinami mengaku sedih Somin-sai harus berakhir di masa kepemimpinannya, tapi dia senang gelaran terakhir festival itu berjalan lancar.

“Saya senang kami dapat menggelarnya tanpa masalah sampai akhir acara. Saya berterima kasih kepada semua pihak yang peduli,” tutur Fujinami.

BACA JUGA:  Presiden Jokowi dan Presiden Filipe Nyusi Sepakat Optimalkan PTA

Somin-sai disebut sebagai salah satu festival paling aneh di Jepang. Acara ini biasanya digelar sepanjang malam selama periode Tahun Baru Imlek untuk berdoa agar panen melimpah dan kesehatan yang baik.

Uniknya, saat mengikuti festival ini, para pria hanya mengenakan fundoshi atau cawat dan bersaing untuk mendapatkan tas rami berisi jimat kayu. Setelah jimat didapat, para peserta berteriak, “jossa, joyasa”. Kata-kata itu berarti ‘jahat, lenyap’.

Siapa pun yang berhasil merebut bungkusan itu diyakini akan terlindungi dari bencana. Biasanya ada ratusan pria yang ikut festival ini dan tidak mengenakan apa pun selain cawat, padahal suhu di lokasi Somin-sai bisa sangat dingin, mendekati nol derajat celsius.

Tahun ini, kompetisi tersebut digelar pertama kali dalam empat tahun terakhir setelah jeda akibat pandemi COVID-19. Sementara itu, festival juga dipersingkat menjadi antara jam 6 sore dan 11 malam, dari durasi biasanya sepanjang malam.

“Saya masih tidak percaya” festival ini telah berakhir, kata Soichiro Nagaoka, 57, seorang pegawai universitas dari Atsugi, Prefektur Kanagawa. Ia mengaku mengikuti festival tersebut sekitar 10 kali