By : Ratna Sari
NusantaraInsight, Makassar — Di ujung selatan Pulau Sulawesi, sebuah potensi maritim perlahan mencuri perhatian. Bukan emas batangan, bukan pula tambang mineral—melainkan “Emas Hijau” yang tumbuh lembut di dasar perairan: rumput laut Lawi-lawi (Caulerpa sp.), atau yang populer dengan sebutan sea grapes.
Sabtu, 8 November 2025, perjalanan menuju Desa Laikang, Kecamatan Laikang, memperlihatkan kontras yang mencolok. Jalanan rusak dan berdebu memaksa kendaraan berjalan pelan, namun sinar matahari yang memantul di atas hamparan tambak seolah menegaskan satu hal: di tempat inilah masa depan ekonomi bahari Sulawesi Selatan tengah bertunas. Ratna Sari—dikenal sebagai Sang Formulator Laut—melangkah di antara pematang tambak, bersiap menemui para pembudidaya yang selama ini menjadi tulang punggung sektor ini.
Panen Harian, Untung Harian
Di salah satu sudut tambak, Ratna bertemu dengan Dg Bella, pembudidaya Lawi-lawi yang telah 30 tahun menggantungkan hidup pada “anggur laut” tersebut. Meski panen sedang berlangsung, ia tetap menyambut ramah.
“Sendirian panen Lawi-lawinya, Pak?” tanya Ratna.
“Iya, Bu. Ini sudah biasa,” jawab Dg Bella sambil tersenyum.
Rutinitas yang terlihat sederhana itu ternyata menyimpan nilai ekonomis besar. Setiap hari, pembeli datang langsung ke tambaknya. Dalam sehari, ia menjual 1 hingga 5 karung Lawi-lawi, masing-masing seharga Rp150.000 hingga Rp200.000. Artinya, pendapatannya berkisar antara Rp150.000 hingga Rp1.000.000 per hari—angka yang stabil dan berkelanjutan.
Minim Modal, Risiko Rendah, Pemasukan Stabil
Keunggulan Lawi-lawi terletak pada sistem budidayanya yang hampir tanpa biaya. Tidak seperti Eucheuma (cottonii/spinosum) yang membutuhkan pupuk, tali, dan pelampung, Lawi-lawi tumbuh secara alami dengan nutrisi yang disediakan langsung oleh laut.
“Tidak perlu membeli pupuk. Nutrisi alami dari laut sudah cukup membawa makanan bagi Lawi-lawi kami,” jelas Dg Bella.
Kondisi itulah yang membuat banyak petani bertahan bahkan berkembang. Dalam tiga dekade konsistensi, Dg Bella berhasil menunaikan ibadah Umroh hingga Haji—bukan sekali, melainkan pulang-pergi. Cerita serupa juga ditemui pada beberapa pembudidaya lain di Laikang, menegaskan betapa besar potensi ekonomi yang dipikul oleh komoditas sederhana ini.
Fakta lapangan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa perairan Sulawesi Selatan memiliki kekayaan yang belum sepenuhnya disentuh oleh riset akademik ataupun inovasi pemerintah.
Jendela Dunia dari Tambak Laikang
Sambil berjalan menyusuri tambak, Ratna Sari melihat betapa melimpahnya sumber daya laut di Laikang. Selain Lawi-lawi, terlihat pula Ulva lactuca—selada laut—yang tumbuh bebas di tepi pantai. Pemandangan itu semakin menguatkan keyakinannya bahwa kekayaan sejati Sulawesi bukan sekadar emas yang dijual di toko perhiasan, melainkan emas hijau yang bisa dipanen setiap hari.







br






