NusantaraInsight, Makassar — Sebuah terobosan kreatif hadir dalam dunia seni rupa Makassar, dengan lahirnya karya kolaboratif bertajuk “Empat Memandang Rupa”. Empat perupa Makassar, Alan Tola, Asman Djasmin, Achmad Fauzi, dan Ahmad Anzul, bersatu dalam sebuah karya yang memadukan empat narasi visual yang kaya makna.
Pernahkah Anda membayangkan sebuah karya seni yang diciptakan oleh empat seniman dengan latar belakang dan gaya yang berbeda? “Empat Memandang Rupa” adalah jawabannya. Karya ini menghadirkan empat perspektif unik tentang impian, takdir, filosofi hidup, dan keseimbangan sosial, yang dirangkum dalam satu bingkai yang memukau.
Terinspirasi dari filosofi Bugis-Makassar “Appa Sulapa'” (empat sisi), “Empat Memandang Rupa” divisualisasikan dalam bentuk belah ketupat, di mana masing-masing karya ditempatkan pada setiap sudutnya. Presentasi ini bukan hanya estetis, tetapi juga sarat akan makna filosofis tentang kesatuan dalam keberagaman.
Mari kita telusuri lebih dalam setiap karya yang membentuk “Empat Memandang Rupa”:
– Alan Tola: “The Blossoming Dreams”Alan Tola mengajak kita menyelami kedalaman jiwa melalui “The Blossoming Dreams”. Karya ini adalah metafora tentang harapan yang tumbuh subur di tengah kegelapan. Tola menggambarkan bahwa impian yang paling cemerlang lahir dari pengalaman pahit dan tantangan hidup. Lukisan ini adalah janji tentang potensi diri yang tak terbatas, sebuah cahaya yang menari lincah di antara rintangan.
– Asman Djasmin: “Balonku ada Lima”Dalam “Balonku ada Lima”, Asman Djasmin menyajikan refleksi tentang keberagaman nasib manusia. Melalui komposisi yang sederhana namun kuat, Djasmin menggambarkan bahwa setiap jiwa membawa cerita yang unik. Ada yang bersinar dalam kejayaan, sementara yang lain terperangkap dalam bayang-bayang ketidakberdayaan. Karya ini mengajak kita untuk memahami bahwa kekayaan dan kemiskinan hanyalah dua sisi dari koin yang sama, dan bahwa setiap pengalaman hidup adalah pelajaran berharga dalam perjalanan menuju kedewasaan.
– Achmad Fauzi: “Alegori Sipakatau”Achmad Fauzi mengajak kita dalam perjalanan budaya melalui “Alegori Sipakatau”. Terinspirasi oleh filosofi Bugis-Makassar, Fauzi menggunakan metafora Perahu Pinisi untuk melambangkan perjalanan hidup, semangat gotong royong, dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan. Kehadiran huruf Lontara memperkuat identitas budaya yang menjadi inti dari karya ini. “Alegori Sipakatau” adalah representasi visual dari nilai-nilai luhur seperti siri na pacce, sipakatau, sipakainga, sipakalebbi, serta taro ada taro gau, yang menjadi pedoman hidup masyarakat Bugis-Makassar.
– Ahmad Anzul: “Kampung Garam: Tiga Batu (Energi Balance)”Ahmad Anzul mengajak kita merenungkan keseimbangan sosial melalui “Kampung Garam: Tiga Batu (Energi Balance)”. Karya ini mengangkat filosofi budaya Maritim Bugis-Makassar tentang hubungan sosial yang harmonis. Melalui konsep “Tiga Batu”, Anzul menggambarkan pentingnya keseimbangan antara Pemerintah, Tokoh Masyarakat, dan Masyarakat dalam mencapai harmoni dan kemajuan bersama.

br






br






