Oleh: Matius S.M. Allokaraeng dan mahasiswa KKN-T Unhas Tematik Literasi (Geraldi Dwi Putra, Sander Bunga’, Elisabet, Anna Cicilia Padaunan, Hany Chelsy Purba, Michelle Sofyan, Inneks Dwi Marinsa)
Lembang Pata’padang: Di Bawah Langit Lepongan Bulan
NusantaraInsight, Toraja Utara — Di tanah Toraja, di bawah cahaya bulan yang bulat sempurna, berdirilah sebuah kampung bernama Randanbatu.
Dahulu ia hanya satu wilayah kecil, tenang, dan terikat erat oleh adat. Namun, waktu berjalan seperti air yang terus mencari jalannya. Pemekaran wilayah membawa lahirnya sebuah desa baru bernama Pata’padang, yang kini menaungi tiga dusun: Randannbatu, Mengguliling, dan Tenggara.
Kemudian pada tahun 2013 terbentuk dua dusun: To’durian, dan Ma’dian, dusun Tenggara berubah nama menjadi dusun Buntu Alang.
Di sini, adat bukan sekadar cerita lama—ia adalah napas yang dihirup setiap pagi. Masyarakatnya terbagi dalam dua lapisan: Tomakaka, para bangsawan penjaga martabat, dan Kaunan, rakyat pekerja keras yang setia. Tiga pilar menguatkan kehidupan: pemerintah yang mengatur urusan dunia, pemangku adat yang menjaga jalinan ritual, dan pemangku agama yang menuntun cahaya kepercayaan.
Pertanian, perkebunan, dan perikanan adalah denyut nadi kehidupan. Dari tangan-tangan terampil lahir karya: besi yang ditempa menjadi parang, kayu yang dipahat menjadi ukiran, benang yang ditenun menjadi kain berwarna cerita. Di setiap acara, terdengar lantunan Pa’badong yang mendalam, gerakan tari yang bercerita, suara paduan suara yang menggema di lembah.
Di Pata’padang, politik bukan soal perebutan kuasa, melainkan kebebasan yang dibingkai adat. Kepercayaan pun beragam—Katolik, Kristen, Islam, dan Aluk Todolo—namun hidup dalam satu atap toleransi.
Pare Pentaunan dan Pare Gadu: Kisah Dua Musim Panen
Dahulu, ladang-ladang di sini hanya mengenal Pare Pentaunan—padi rendengan yang sabar menunggu enam bulan sebelum dituai. Tapi, hasilnya tak selalu cukup. Maka, ubi, talas, jagung, dan sayur menjadi pengisi perut di musim paceklik.
Hingga suatu hari di tahun 1972, datanglah Abraham Kanan Pongkalua’—yang dikenal sebagai Nenek Kanan—bersama Nek Madendang. Mereka membawa bibit baru: padi gadu atau Pare Sasak, yang hanya butuh tiga bulan lebih sedikit untuk panen.
Namun, tanah kadang keras pada pendatang baru. Dua kali panen gagal. Warga mencibir, “Kalau kita ikut cara mereka, kita sudah kelaparan.” Tapi Nenek Kanan tak menyerah. Ia kembali ke pertanian, belajar dari penyuluh, membawa bibit lagi. Tahun keempat, padi itu mulai berisi. Tahun kelima, ladang-ladang pun mulai menguning dengan bulir yang padat.