Pengantar Buku Saudagar Dunia Akhirat

NusantaraInsight, Makassar — Dalam era modern yang penuh persaingan dan hiruk-pikuk mengejar keuntungan materi, banyak pelaku bisnis terjebak dalam paradigma untung dan rugi semata. Orientasi duniawi menjadi ukuran utama keberhasilan, sementara nilai-nilai spiritual — khususnya dalam konteks Islam — sering kali tersingkir dari ruang pengambilan keputusan bisnis. Buku “Saudagar Dunia Akhirat” hadir sebagai penyeimbang sekaligus pengingat penting, bahwa bisnis bukan hanya tentang angka-angka dalam laporan keuangan, melainkan juga tentang catatan amal dalam lembaran akhirat.

Ir. Aslam Katutu, salah satu keluarga besar Ikatan Saudagar Muslim – ISMI Sulsel, melalui karya ini, mengajak kita menyelami konsep bisnis surga-oriented — sebuah pendekatan wirausaha yang menjadikan ridha Allah sebagai tujuan utama. Ia menekankan bahwa dalam Islam, setiap aktivitas duniawi, termasuk ekonomi dan perdagangan, memiliki potensi menjadi ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai syariat. Oleh karena itu, membangun bisnis tak boleh semata-mata untuk memperkaya diri, melainkan juga untuk memberi manfaat, menebar kebaikan, dan memupuk bekal menuju kehidupan abadi.

BACA JUGA:  Israel Tidak Memiliki Sifat Manusia

Konsep bisnis surga-oriented tidak berhenti pada teori moralitas atau retorika etika. Ia berdiri di atas landasan kuat ajaran Al-Qur’an dan hadits, yang menuntun pelakunya untuk menjaga niat, kejujuran, keadilan, dan kebermanfaatan. Salah satu ayat yang dijadikan fondasi adalah QS. Al-Qashash: 77:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”

Ayat ini menegaskan pentingnya keseimbangan — bahwa dunia bukanlah tujuan, melainkan sarana. Begitu pula bisnis: bukan sebagai obsesi meraih kekayaan, melainkan sebagai kendaraan untuk menuju ridha dan surga Allah.

Penulis menguraikan enam prinsip utama dalam membangun bisnis yang berorientasi akhirat. Dimulai dari niat yang lurus, di mana setiap langkah usaha harus diniatkan untuk ibadah. Niat adalah ruh amal — tanpa niat yang benar, aktivitas ekonomi bisa berubah menjadi sumber dosa, bukan pahala. Prinsip kedua adalah kejujuran dan transparansi, yang tidak hanya menjadi fondasi kepercayaan pasar, tapi juga mendatangkan keberkahan. Rasulullah SAW sendiri dikenal sebagai pedagang jujur (Al-Amin), dan beliau bersabda bahwa pedagang yang jujur kelak akan bersama para nabi dan syuhada.

BACA JUGA:  Pertumbuhan Ekonomi 8%: Optimisme dan Tanggung Jawab Kolektif

Prinsip ketiga adalah keadilan dan anti-kezaliman, yang menuntut pelaku usaha untuk tidak mengambil hak orang lain, tidak mempermainkan harga, serta tidak memeras atau merugikan siapa pun dalam proses bisnis. Selanjutnya, prinsip keempat menekankan pentingnya produk dan layanan yang halal dan thayyib, yaitu bersih dari unsur haram dan membawa manfaat. Prinsip kelima menyoroti pentingnya orientasi manfaat sosial, sementara yang terakhir adalah semangat berbagi dan dermawan, karena salah satu cara menyucikan harta adalah dengan sedekah, zakat, dan kontribusi sosial lainnya.

br