Ketika Koridor Jadi Kelas: Mahasiswa Jurnalistik UINAM Suarakan Ketimpangan dan Arogansi Akademik

Oleh: Fadhdhal Raihan (Mahasiswa Jurnalistik UINAM)

NusantaraInsight, Gowa — Kampus yang semestinya menjadi ruang intelektual justru berubah menjadi simbol ketimpangan dan ketidakadilan akademik. Itulah yang kini dirasakan oleh mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM). Di tengah kewajiban membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga jutaan rupiah per semester, mereka justru dipaksa mengikuti perkuliahan di koridor Gedung Dosen — tempat yang jauh dari layak dan terkesan diabaikan.

Namun tak berhenti di situ. Selain keterbatasan fasilitas, mahasiswa juga mengeluhkan sikap sejumlah dosen yang dianggap sewenang-wenang dalam mengatur perkuliahan. Jadwal kerap berubah mendadak tanpa pemberitahuan yang jelas, bahkan tak jarang dibatalkan sepihak. Mahasiswa pun menjadi korban dari ketidakpastian sistem akademik yang semestinya tertib dan profesional.

“Jadwal kuliah bisa berubah pagi ini, dan sorenya dibatalkan atau dipindah seenaknya. Ruangan tidak ada, kami duduk di lantai koridor, dan dosen seperti tidak peduli. Apakah seperti ini wajah kampus negeri hari ini?” ungkap Syahdan.

BACA JUGA:  Baliho Politik: ARB Gerakan Bersama Membangun Makassar

Situasi ini menjadi ironi tersendiri di tengah citra kampus Islam negeri yang seharusnya menjunjung tinggi nilai keadilan, tanggung jawab, dan etika akademik. Mahasiswa mempertanyakan ke mana arah dana UKT yang dibayarkan, jika ruang kelas tak tersedia dan manajemen perkuliahan seolah dibiarkan kacau.

“Kalau mahasiswa terlambat, kami diberi teguran. Tapi kalau dosen mendadak membatalkan atau pindah kelas ke tempat yang tidak layak, siapa yang beri sanksi?” ujar Syahdan.

Kondisi ini bukan hanya soal fasilitas atau jadwal, tapi mencerminkan adanya krisis kepemimpinan dan kontrol mutu dalam penyelenggaraan pendidikan. Mahasiswa menilai, kampus terlalu fokus pada penerimaan mahasiswa baru setiap tahun tanpa memastikan kesiapan sarana dan kualitas pengajaran.

Menanggapi hal ini, salah satu dosen yang dikritik oleh mahasiswa menyampaikan bahwa alasan ia tidak mengajar di ruang kelas lantai atas adalah karena kondisi kesehatannya. “Saya punya keterbatasan naik ke lantai 3 karena saya ada sakit vertigo dan gangguan saraf di kaki. Biasa pusing kalau naik tangga, jadi saya melakukan perkuliahan di gedung dosen dengan sistem melantai, kadang di masjid, biasa juga di gedung tapi lantai 1,” ujarnya.

BACA JUGA:  PGRI Lilirilau Cabang Pertama di Soppeng Menggelar Konferensi

Terkait perubahan jadwal yang sering terjadi, ia juga menambahkan bahwa hari Jumat adalah hari kerja dengan sistem *Work From Home* (WFH), dan waktu yang tersedia sangat terbatas untuk perkuliahan daring. “Hari Jumat itu WFH. Kalau pakai Zoom Meeting waktunya tidak cukup, jadi kadang saya cari waktu yang memungkinkan di luar jadwal untuk tatap muka langsung,” jelasnya.